22. Janji

1.6K 158 10
                                    

Entah bagaimana Allah mengaturnya, hingga Dia ganti keadaan ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.”
-Kaif al-Jihah-

Derit pintu terdengar dari seberang, mengalihkan perhatian Ruhi dari fokusnya yang kini berkutat dengan laptop miliknya. Kaif, Ruhi meliriknya sekilas lalu sibuk kembali.

Di seberang Kaif mengembus napas berat mendapati respons demikian dari istrinya, tetapi ingin protes pun Kaif tak berhak. Istrinya bersikap seperti itu pun karena dirinya yang enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan Ruhi, tepatnya belum masanya saja untuk perempuan itu tahu tentang dirinya.

“Ruhi, sudah malam,” ujar Kaif kini tiba di samping istrinya. Berjongkok sembari meraih laptop dari pemiliknya.

“Tugasku masih banyak, dia harus selesai malam ini,” ucap Ruhi lembut.

Deadlinenya kapan?”

“Rabu,”

“Besok sabtu, masih banyak waktunya. Sekarang istirahat dulu!” kata Kaif beranjak menyimpan benda itu di meja belajar lalu mengulurkan tangan begitu menghadap istrinya.

“Ayo,” ajak Kaif.

Ruhi mengangguk sekali, baru kemudian meraih tangan Kaif dan berdiri dengan bantuannya. Setelahnya Ruhi bergerak menuju tempat tidur, tidak dengan Kaif yang hanya diam memperhatikan, sesekali kepalanya tertunduk malu begitu melihat istrinya tanpa kain penutup di wajahnya.

Perempuan itu benar-benar terjaga dan pandai menjaga, bahkan wajahnya tak sembarang dia perlihatkan terkecuali sedang bersama mahramnya. Lagi memicu perasaan tak enak menyelinap ke dalam dada, Kaif merasa benar-benar tak pantas meski untuk menatap keindahannya.

“Kenapa, Kaif?” tanya Ruhi dari seberang, dan suaminya membalas dengan gelengan pelan. “Kamu nggak tidur?”

Kaif melirik dengan langkah yang ditariknya menuju tempat tidur, mengambil bagian kanan untuk berebah. Matanya belumlah mengantuk walau memaksa terpejam.

“Boleh aku matikan lampunya?” tanya Ruhi lagi.

Kaif mengangguk sekali kemudian beranjak memadamkan pencahayaan di sana, membuat ruangan yang cukup luas itu redup dalam waktu singkat. Kaif pun kembali ke tempatnya tanpa sepatah kata, halnya Ruhi cenderung diam begitu suaminya tak lagi membuka pembicaraan.

Namun, menit berikutnya Ruhi merasakan adanya pergerakan di sampingnya, grasak-grusuk si suami menunjukkan ketidaknyamanannya.

“Ru,” panggil Kaif lembut.

Ruhi menoleh dan menjawab, “Iya?”

“Boleh aku minta sesuatu?” tanyanya.

Seketika Ruhi menegang di tempatnya. Entah sesuatu apa yang dimaksudkan suaminya ini, Ruhi malah diajak berpikir keras olehnya.

“Aku nggak bakal macam-macam, cuma untuk satu macam boleh, kan?” tanya Kaif bernegosiasi.

“Sama saja macam-macam meskipun satu macam,” gumam Ruhi terkesiap.

Terdengar Kaif terkekeh pelan, dia kemudian mengubah posisi baringannya menghadap penuh pada Ruhi.

“Aku cuma minta peluk, Ru. Nggak lebih dari itu,” kata Kaif memperjelas. Sementara itu Ruhi terdiam dengan kepala mengangguk sekali.

Dirasa sudah mendapatkan izin membuat Kaif bergerak mendekat lalu memeluk istrinya itu dengan erat. Menenggelamkan wajah mencari kenyamanan di sana.

Lain halnya Ruhi yang sudah gugup setengah hidup, wajar saja ini menjadi kali pertama bagi dirinya berada di satu kamar dan tempat tidur bersama lelaki ysng berstatuskan suaminya. Dia jadi mati kutu.

“Ru,” panggil Kaif setelah beberapa saat terdiam.

“Hm?”

“Boleh aku tanya satu hal?”

Sejenak berpikir, Ruhi pun mengangguk seraya menunggu suaminya berbicara.

“Ru, kamu tahu sendiri aku bukan orang begitu pintar soal agama, kehidupanku sebelum datangnya kamu pun sudah jauh berbeda dengan yang sekarang,” tutur Kaif. “Kalau seandainya suatu saat kelak kamu mendengar tentang keburukanku di masa lalu kamu boleh mempercayainya. Tapi, kumohon apapun itu jangan pernah meninggalkanku.”

“Kaf, mana mungkin?” protes Ruhi mendongakkan wajah menatap suaminya. Benar, wajah tampan itu menyiratkan kesedihan begitu menyampaikan perkataannya tadi.

“Mau berjanji untuk ini?” tawar Kaif.

“Apa?”

“Nggak ninggalin aku apapun kondisinya.”

Ruhi terdiam sejenak lalu mengangguk kuat dengan senyuman di bibirnya. Kaif ikut menyunggingkan seulas senyum sesekali memberi kecupan di kening istrinya itu tanpa mau peduli bagaimana Ruhi tertegun dengan sikapnya.

“Kaf!” tegurnya menatap sengit.

Kaif menyengir kuda. “Boleh minta satu macam lagi?”

“Nggak, nggak ada!” tolak Ruhi tegas melepas dekapan Kaif.

“Ayolah, Ru!”

“Ayo apa sih, Kaf? Kita masih kuliah!” pungkas Ruhi.

“Lah, apa kaitannya sama kuliah?” tanya Kaif dengan alis menukik satu, “mikir apa sih kamu?”

Ruhi terhenyak. “Memangnya kamu minta apa?”

“Minta kamu do'akan suamimu ini, supaya hatinya terpaut selalu sama Allah. Itu doang, nggak ada kaitannya sama perkuliahan.”

“O-oh,” tanggap Ruhi dengan wajah yang terasa memanas, dia telanjur salah tingkah dengan pikirannya sendiri dan anehnya, bagaimana bisa dia berpikir demikian?

“Ayo, Ru. Do'a!” pinta Kaif menarik istrinya bangkit dari baringan, keduanya duduk berhadapan.

“Iya,” balas Ruhi pasrah.

“Mulai,” tutur Kaif.

Ruhi mengangguk lalu mengangkat tangannya seraya memejamkan mata berdo'a. Sementara Kaif diam menatapnya lekat.

Terasa semakin besar kekagumannya terhadap sang istri, hatinya ternyata indah melebihi indah cahaya rupanya. Entah takdir seperti apa yang Allah tetapkan untuk Kaif, sampai dengan cepat Allah ganti keadaannya menjadi lebih baik dari yang sebelumnya, walau rasa takut kehilangan itu mulai muncul bersama bayang sosok terdahulu.

Mendadak, perasaan itu kembali menghantui pikiran Kaif, sampai dengan spontan tangannya bergerak menggenggam erat tangan Ruhi yang belum selesai dengan aktivitasnya. Saling melempar tatapan dengan perasaan bingung.

“Kaf?” sebut Ruhi menegur.

“Jangan pergi.”

_______________________

Hei, terima kasih buat kalian yang udah mampir. Ikuti terus ceritanya ya. Jangan lupa jejak vomentnya!

Ketika Hati Berkiblat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang