07. Menyudutkan Ruhi

2.4K 182 8
                                    

Langkah Farisi dipercepat menaiki deretan tangga, di mana tepat pada gedung A.2 ruangan 4 sudah banyak teman sekelasnya mulai berhamburan untuk segera meninggalkan ruang kelas mengharuskannya bergerak lebih cepat dari biasanya.

Informasi praktikum yang akan kembali dilaksanakan setelah sepekan libur usai ujian tengah semester kemarin akan berjalan mulai pekan besok. Farisi selaku ketua kelas berusaha mengakomodir semua teman-temannya atas amanah yang disampaikan, termasuk pengumpulan dana kelas untuk kebutuhan tambahan praktikum yang mesti diselesaikan.

“Untuk mahasiswi baru yang namanya Naima Ruhiatul Ahyar. Bisa dikumpulkan dananya ke bendahara yang menghimpun dua kelas, ya!” ucap Farisi sembari memegang absensi kelas.

“Katanya besok jam 10 pagi.” Ruhi menyahuti.

“Ooh, okelah. Nggak apa-apa kalau memang sebelumnya sudah ada kesepakatan,” balas Farisi. “Untuk teman-teman lainnya yang belum lunas harap dilunaskan secepat mungkin. Sama sekalian uang camping yang seluruh mahasiswa terkhusus prodi ilmu lingkungan angkatan wajib diadakan juga segera dilunasi.”

“Wajib camping?” Pertanyaan salah seorang mahasiswi lainnya terdengar dari kursi seberang, cukup mewakili Ruhi yang ikut mempertanyakan hal itu.

“Sebenarnya nggak wajib sih, tapi sunnah muakkad untuk mahasiswa prodi kita, itupun cuma sekali dalam empat tahun. Karena kita disibukkan dengan praktik makanya kahim mengusulkan untuk adanya camping ini. Dan untuk membangun acara ini, ayolah kita tunjukkan rasa solidaritas kita!” tuturnya menjelaskan.

“Kalau nggak ikut, boleh?” Ruhi akhirnya bersuara juga setelah beberapa saat menimang-nimang pertanyaan itu dilontarkan.

Melirik, ya, sebagian besar mahasiswa melirik ke arahnya begitu Ruhi bersuara.

“Kenapa nggak mau ikut? Bukannya makin bagus, ya? Di sana bisa bermesra-mesraan sama Kaif?” Anang menyahuti hingga fokus semua mahasiswa di kelas silih berganti tertuju padanya dan Ruhi.

Sementara di tempatnya Ruhi tercekat. Mendadak dadanya naik turun dengan napas terengah-engah pertanda ia menahan rasa kekesalan terlebih-lebih sebagian mahasiswa di kelas itu bersorak untuknya usai mendengar celetukan Anang yang sudah pasti menimbulkan syubhat di antara mereka.

“Kaif? Mereka punya hubungan?”

“Cadar-cadar begini pacaran juga rupanya!”

“Lololoh, nggak bahaya ta?”

“Wih, suhu nih!”

Benar. Tak sedikit Ruhi mendengar tanggapan yang demikian dari mahasiswa di kelasnya, mereka cepat menyimpulkan hanya karena percikan ludah dari mulut lelaki yang sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Dia terlihat begitu enteng tersenyum mengejek seolah menjadi kemenangan tersendiri menyaksikan kelas berdialog menyudutkan Ruhi.

“Hei-hei tenang!” Teguran Farisi bak angin lalu. Tak ada yang mau mendengarkannya saat para mahasiswa itu bersorak sorai untuk Ruhi.

Namun, detik berikutnya suara gebrakan kasar timbul dari kursi perempuan yang sempat bertanya tadi. Masih tak mau dihiraukan oleh mahasiswa lain membuatnya bangkit dan secara kasar menendang kursi miliknya menimbulkan suara keras begitu kursi bertubrukan di lantai itu.

Semua melirik tepat ke arahnya.

“Mau apa kalian?” Perempuan itu menyeru keras di hadapan mahasiswa lainnya. Terlihat tak ada ketakutan di matanya bahkan ketika si ketua tingkat menegur.

“Gina!” sebut Farisi.

“Apa, Ris? Gini kinerjamu sebagai ketua tingkat?” celetuk perempuan berhijab hitam menerawang itu. “Dan kalian, cuma karena dengar bisikan manusia tampang iblis langsung ikut-ikutan!”

Ketika Hati Berkiblat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang