15. Tabayyun

1.8K 156 3
                                    

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka (tabbayun) telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.
-Qs. Al-Hujurat : 6-

Bangun dari tidur, Kaif melanjutkan dengan ritual mandinya. Baru setelah itu keluar setelah bersiap dengan kaus oblong dan celana cingkrang, berjalan santai menuruni deretan anak tangga sembari berkutat dengan gawainya menghubungi Azhar yang tak terlihat sejak Subuh tadi.

“Minimal kalau pulang bilang dulu, Zhar. Heran aku pagi-pagi nggak nemu batang hidugmu!” omel Kaif hanya dibalas kekehan oleh yang diseberang telepon.

Di tengah kesibukannya, mata Kaif beralih melirik ke arah meja makan dan berhenti saat mendapati seorang perempuan berhijab panjang lengkap dengan gamisnya hijaunya menyajikan menu sarapan di atas meja.

“Tunggu. Sejak kapan Bunda jadi shalihah plus-plus?” tanyanya terheran-heran.

“Baru bangun kamu?”

Astaghfirullah!” sebut Kaif terkejut mendapati bundanya menyahut di samping tangga. “Bunda?”

“Apa? Terpesona kamu sama Bunda?”

“Loh!” Kaif mengerjap bingung, lalu melirik ke arah seberang memastikan siapa yang dilihatnya barusan.

“Kayak kenal sama ninja satu ini,” gumam Kaif masih tak sadar.

“Enak saja. Itu Ruhi!” sergah Fitri menggeplak lengan putranya, kemudian beranjak menghampiri Ruhi di meja makan.

Masih tak percaya dengan yang dilihatnya membuat Kaif berjalan mendekat hingga dia tiba di hadapan Ruhi. Benar, ini istrinya. Tetapi sedang apa dia di sini?

“Ayo, Ruhi. Kita sarapan bareng!” ajak Fitri diangguki Ruhi.

Perempuan bercadar itu segera menempati kursi berhadapan dengan Kaif. Memulai sarapan bersama untuk kali kedua di rumah ini. Selama sarapan berlangsung Kaif tak henti menatap istrinya lama, meski tanpa kata rautnya benar-benar menunjukkan kebahagiaan melihatnya. Sarapan pagi ini terasa lebih istimewa dari sebelumnya.

“Sejak kapan di sini?” Pertanyaan terlontar dari mulut Kaif saat dia kembali menemui istrinya yang sedang berberes di meja makan, sementara Fitri mencuci piring di dapur.

“Sejak tadi,” jawab Ruhi dingin.

Kaif mangut-mangut mengetahuinya, lalu kembali bertanya, “Bisa kita bicara sebentar?”

Berbalik, Ruhi mendongak seraya menjawab, “Kebetulan aku ingin bicara juga. Di mana?”

“Kalau di sini nggak enak ada bunda. Di atas saja, gimana?” tawar Kaif.

Ruhi mengangguk sekali lalu berjalan mengekori Kaif menuju lantai atas, sampai mereka tiba di ruang baca. Kaif mempersilakan Ruhi memasuki ruangan itu lebih dulu, baru setelahnya Kaif menyusul.

Pintu terkunci dari dalam mengalihkan atensi Ruhi menatap waspada Kaif.

“Kenapa?” tanya Kaif.

“Pintunya, kok, dikunci?”

“Ya, nggak masalah, kan?”

Ruhi tak lagi menjawab. Matanya beralih menelusuri ruangan yang dijejeri rak dan lemari buku itu, terasa menyejukkan mata. Namun, kedatangannya kemari adalah untuk ber-tabayyun dengan Kaif.

Berbalik, Ruhi mendapati Kaif menatapnya nanar membuatnya cepat memutus kontak karena salah tingkah.

“Aku ingin bicara. Tapi, kurasa baiknya kamu lebih dulu,” ucap Kaif membuka suara berbicara.

Ruhi tak langsung menjawab, dia mendekat seraya menatap lekat kepada manik suaminya. Namun, rasanya sedikit sulit hingga dia tertunduk kembali.

“Aku cuma mau nanya saja,” kata Ruhi.

“Silakan,” balas Kaif.

“Kumohon jangan tersinggung,” tutur Ruhi dan Kaif menyepakatinya dengan santai.

Ragu, Ruhi bertanya, “Apa sebelum pernikahan kita, kamu pernah menjalani hubungan dengan perempuan lain?”

“Kenapa?” Kaif malah berbalik tanya.

“Aku hanya ingin tahu,” jawab Ruhi seadanya.

Terdiam sejenak, Kaif pun berkata, “Kalau seandainya aku jawab pernah, kenapa?”

Ruhi bungkam sesaat, tangannya sibuk memilin ujung hijabnya dengan kepala tertunduk gugup. Nyeri di dadanya kian menjadi-jadi, terlebih Kaif kembali menceritakan tentang dirinya.

“Aku pernah menjalani hubungan dengan seseorang, baru saja berakhir sekitar 7 bulan lalu.”

“Kamu masih mengharapkannya?” tanya Ruhi dengan sangat hati-hati.

Kaif terkekeh lalu mengambil dua langkah mendekat pada sang empu seraya menjawab, “Mana mungkin? Harapan itu lenyap bersama orangnya.”

“Tapi, masih mencintainya?” tanya Ruhi lagi. Dia mendongakkan wajah mencari jawaban dari sorot legam itu.

Kaif tak menjawab, sampai istrinya tertunduk lagi dengan semburat tatapan kekecewaan.

“Kenapa menikahiku kalau seandainya belum bisa melupakan perempuan lain? Kamu punya kesempatan untuk mengejarnya lagi jika benar-benar yakin!” celoteh Ruhi dengan suara tenang.

“Kok, kamu ngomong gitu?” tanya Kaif.

“Aku nggak mau seseorang terikat denganku karena keterpaksaan. Apalagi dalam sebuah pernikahan,” tuturnya.

“Tanpa dipaksa juga aku bakal tetap terikat dengan kamu,” pungkas Kaif.

Melirik, Ruhi mengembus napas singkat. “Iya, karena memang sudah takdirnya kita menikah. Tapi, nggak harus dengan mengorbankan perasaan sendiri, kan?”

“Ya, mau bagaimana? Seandainya kamu memberi izin untukku mengejarnya lagi juga nggak bakal bisa. Wong orangnya sudah tertimbun tanah, ninggoy!” balas Kaif dengan senyum tipisnya.

Ruhi mengerjap beberapa kali lalu menoleh pada sang suami. “Dia sudah meninggal?”

Kaif mengangguk.

Inna lillahi,” sebut Ruhi tercengang. “Kok, bisa? Meninggal karena apa?”

“Nyawanya habis,” jawab Kaif enteng.

Ruhi mencebik. “Yang serius!”

“Serius!”

Masih tak percaya, Ruhi menyipitkan matanya menyelidiki sementara Kaif menahan tawa gemas melihatnya. “Apa sih? Kutelan kamu, ya!”

“Ish. Padahal aku sudah sempat cemburu tadi!” gerutu Ruhi dengan suara pelan. Namun, masih dapat didengar oleh Kaif.

Sontak Kaif tertegun salah tingkah. “Apa-apa? Kamu bilang apa barusan?”

“Nggak ada!”

“Cemburu? Pffth!” alibi Kaif menahan tawa.

Tak tahan diejek langsung memicu tatapan sinis dari Ruhi, tangannya bergerak melayangkan cubitan dan pukulan di lengan Kaif yang masih terkekeh dibuatnya. Ruhi terus memberikan penyerangan sampai dia oleng sendiri, hampir terjatuh seandainya bukan karena Kaif yang menyeimbangkan posisi untuknya.

Tangan lelaki itu menahan lembut badan yang hampir ambruk bersamanya, sampai keduanya terdiam saling melempar tatapan. Jailnya Kaif, dia malah mendekat dan mencuri kecupan singkat dari bibir istrinya meski terhalang selayer cadar, tetapi berhasil membuat sang empu terbelalak.

“Kaif!”

Lagi, pekikan Ruhi terdengar begitu merasa kecolongan oleh suaminya itu. Sementara yang diteraiki berlari menjauh sembari tertawa mengejeknya.

_______________
Tabayyun : Meneliti, menjelaskan, memahami, mencari tahu, atau memverifikasi sesuatu (Bhs. Arab)
Wong: manusia, rakyat, orang. (Bhs. Sunda Kuno)

Ketika Hati Berkiblat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang