“Mengerti perempuan itu rumit, dan serumit-rumitnya perempuan di luar sana lebih rumit lagi perempuanku.”
-Kaif al-Jihah-▄
▄
▄
Sikap Ruhi semakin tak dapat Kaif tebak, sejak kemarin perempuan itu selalu menjauh meskipun tetap menunjukkan sisi perhatiannya pada saat-saat tertentu. Begitu akan berangkat kerja, dia sudah menyiapkan segala kebutuhan Kaif selama di luar, menyetrika pakaian dan menyiapkan sepatu pada tempatnya, tahu saja Kaif akan kesulitan jika harus mencarinya sendirian.
“Ru, lihat sisiran nggak?” Kaif menyahut saat istrinya masuk ke kamar, membawakan sepotong roti untuknya.
Tanpa melirik, Ruhi pun menjawab, “Di laci tempat biasa, kan, ada.”
Alis Kaif menukik satu, melirik ke arah nakas dan memang didapatinya sebatang sisir di sana. Kaif meraihnya, kemudian tersenyum misteri begitu ide cemerlang untuk membujuk istrinya itu terlintas di benak.
“Nggak ada. Kamu lupa kali taruhnya di mana,” ujar Kaif usai menyembunyikan sisir itu di balik selimut.
Ruhi yang akan keluar tertahan menghadapnya, berjalan lurus menuju nakas dan ikut mencari di sana.
“Gimana? Ada?” tanya Kaif saat istrinya berhenti mencari.
“Semalam di sini,” jawab Ruhi datar.
“Masa iya sih dipakai tuyul?”
“Tahayulmu ketinggian!” celetuk Ruhi dibalas kekehan oleh Kaif. Perempuan itu melangkah menuju lemari mencari sesuatu di sana.
Kaif terdiam menatapnya lama, bersilang tangan di dada percaya diri istrinya tak akan mendapatkan sisiran tersebut. Jelas saja karena sudah Kaif sembunyikan. Namun, tak lama Ruhi kembali dan menyerahkan sebuah sisir untuknya.
“Pakai itu,” kata Ruhi.
Kaif mengangguk pelan dan menerimanya dengan senyum kikuk, rencananya gagal. “Terima kasih.”
Tak ada balasan dari Ruhi, dia beranjak keluar kamar tanpa mempedulikan Kaif yang tengah kebingingan dibuatnya.
Begitulah seterusnya. Kaif serba salah dalam berbuat, upaya mendapatkan perhatian Ruhi benar-benar tak mempan bagi si istri, curiga jika pengakuan Ruhi cemburu saat itu hanya tipuan. Rumit juga.
“Apa aku bikin dia cemburu saja?” monolog Kaif usai sepiring nasi dia habiskan.
“Jangan macam-macam kamu!” sahut bunda tiba-tiba, mengalihkan atensi Kaif dengan waspada. Bunda mengambil tempat menududuki kursi mengintimidasi.
“Tumben, Bun. Belum tidur, padahal sudah jam 12,” ujar Kaif basa-basi.
Bunda tak langsung menjawab, melainkan diletakkannya sebuah map batik di hadapan Kaif seraya berkata, “Ambil ini.”
“Sertifikat rumah? Buat?” tanya Kaif saat mengetahui apa isi map tersebut.
“Bunda kepikiran untuk kalian berdua pindah rumah saja, kalian harus hidup mandiri.”
“Bun, Kaf sudah bilang, Kaf mau punya rumah hasil kerja keras sendiri,” balas Kaif.
“Bunda nggak bilang rumah itu hasil curian ataupun warisan, memang sejatinya itu rumah kalian!”
Terkejut, Kaif bertanya, “Sejak kapan?”
“Kamu lupa? Mahar yang kamu serahkan ke Ruhi pasca ijab qabul? ditambah setelah itu hasil kerja kamu selama di TH? Ruhi minta mahar itu bunda pakai untuk dicarikan rumah dan ditempati saat Ruhi sudah di sini,” jawab Fitri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
SpiritualKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...