Weekend ini, Ruhi hanya menghabiskan waktu bersama mertuanya mengalihkan rasa bosan yang mulai menggerogoti hati. Berbagai aktivitas mereka lakukan, dan Ruhi lebih menyukai waktu kebersamaan dengan mertuanya ketika mereka berkreasi di dapur.
Sudah terhitung dua jam lamanya berkutat dengan alat masak di sana, hingga tiga menu masakan tersaji indah di atas meja. Tampak menggugah selera bagi mata yang memandang.
“Pasti enak buatanmu, Ru. Bunda jadi nggak sabar mau icip!” ucap Fitri tampak begitu antusias memuji dua menu buatan menantunya sementara Fitri hanya kebagian satu menu. Maklum saja, Ruhi ternyata pandai menguasai dapur.
“Lebih enakan buatan Bunda sih, kan Bunda masternya,” balas Ruhi menarik kursi dan duduk di samping mertuanya.
“Pintar banget sih!” puji Fitri. “Nanti sisihkan buat Kaif, ya. Biar kebagian dianya.”
“Memangnya Kaif kapan pulangnya, Bunda?” tanya Ruhi. Dia memang tak sempat mempertanyakan kepulangan Kaif, suaminya iti berangkat sejak Subuh tadi untuk bekerja, katanya biar tidak macet di jalan.
“Sore dia baru pulang,” jawab Fitri sembari mengambil sepotong cake dari loyannya.
“Setiap sore?”
Fitri mengangguk sekali. “Biasanya setelah jadwal kuliah selesai, Kaif nggak langsung pulang ke rumah. Mampir dulu dia di TH gantikan pamannya bekerja, kebetulan juga akhir pekan dia full day, sore nanti baru pulang.”
“Ooh,” tanggap Ruhi ber-oh ria.
Tersenyum, Fitri kembali menyambung ucapan, “Kaif itu sudah dewasa, Ru. Harus dituntut untuk bisa bertanggungjawab, apalagi dia sudah beristri.”
“Iya sih, Bunda. Tapi, kadang Ruhi ngerasa nggak enak hati sama Kaif. Dia kerja sambil kuliah, ngurus ini ngurus itu, kayak berat saja kelihatannya,” tutur Ruhi tersenyum kecut.
“Eeh, nggak usah ngomong gitu. Sudah jadi kewajiban dia mancari nafkah, meskipun kalian berencana untuk sama-sama bekerja nantinya itu adalah pilihan dan kebolehan, bukan kewajiban terlebih-lebih buat kamu sebagai seorang istri,” kata Fitri menggenggam erat tangan Ruhi. “Tugas kamu hanya sebagai seorang istri yang semestinya menjamin kenyamanan dan ketentraman suami. Jadilah rumah untuk suamimu. Mengerti?”
Mengangguk, Ruhi menjawab, “Iya, Bunda.”
“Bagus. Dan, ya, masih ada satu lagi tugas kalian sebagai pasangan,” kata Fitri.
Alis Ruhi menukik satu. “Apa itu?”
“Cepat-cepat kasih Bunda cucu. Kalau boleh request dua cucu cukup, ya? Satu cewek satu cowok.”
Ruhi terkekeh pelan, terpaksa lagi tertekan. “Kayaknya usia Bunda masih muda buat nunggu itu, jadi Ruhi rasa nggak harus cepat-cepat, ya, Bunda?”
Fitri melirik. “Kematian itu nggak pandang bulu loh, Ru. Lagipula kalian sudah cukup umur untuk punya anak.”
“Ru masih dua puluh sih, Bunda.”
“Ya, nggak beda jauh sama Kaif. Cuma beda satu tahunan,” pungkas Fitri.
Sementara Ruhi terdiam dengan kepalanya yang mendadak berdenyut pusing. Dalam hati dia sudah misuh-misuh ingin suaminya segera pulang dan melerai dirinya dari permintaan sang ibunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
EspiritualKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...