Hujan lebat malam ini diterobos Kaif memasuki rumah begitu selesai memarkirkan kendaraannya. Napasnya naik turun menampilkan raut khawatir hingga tiba di depan pintu terbuka, Ruhi berdiri di sana menyambut kepulangannya.
“Assalamualaikum,” sapa Kaif.
“Waalaikumussalam.”
Ruhi menjawab datar, tak ada tegur sapa untuk sekadar tanya kabar seperti kepulangan biasanya. Perempuan itu melongos masuk usai membukakan pintu untuk suaminya. Kaif paham dengan situasi yang tengah mencengkam hanya diam di tempat, benar-benar tak ada inisiatifnya untuk beranjak masuk. Sehingga kedua kalinya sang empu melirik, menatapnya nanar penuh tanya.
“Di luar hujan, kamu bakal kedinginan di sana terus,” ujar Ruhi.
Kaif tersenyum getir seraya menjawab, “Lebih dinginan sikapmu yang sekarang mendiamkanku sih, dan aku nggak tahu bakal bisa bertahan dengan sikapmu yang diam terus-menerus itu atau enggak.”
Ruhi mengembus napas berat nan pelan, langkahnya kemudian tertarik menghampiri Kaif. Berdiri di hadapannya dengan tatapan yang entah. Jelasnya Kaif tak dapat mendeskripsikan hal itu sekarang. Dia paham apa yang membuat istrinya bertingkah demikian, sahaja tak ingin bersuara sampai perasaan kesal empunya mereda.
“Aku ingin bicara,” tutur Kaif di saat Ruhi sibuk mengeringkan rambutnya.
Perempuan itu tak menyahut, tangannya sibuk mengobrak-abrik handuk kecil guna mengeringkan rambut sang suami. Sampai Kaif bertindak menghentikan gerak tangan Ruhi dan menuntunnya duduk.
“Kaif,” sebut Ruhi jengkel.
“Kamu nggak dengar?” celetuk Kaif.
Ruhi menatap ke arah lain, tampak matanya berkaca-kaca tak mau menatap suaminya. Kaif menghela napas singkat, menggenggam tangan empunya.
“Sekarang jawab, kamu marah?” tanya Kaif lembut.
“Kenapa aku harus marah? Kenapa seyakin itu aku bakal marah?” Ruhi melempar pertanyaan balik membalasnya.
Terdiam sesaat, baru setelahnya Kaif menjawab, “Karena aku pulang telat.”
“Akibatnya apa?” tanya Ruhi berbalik menginterogasi.
“Kamu sendirian di rumah,” jawab Kaif seadanya.
“Lalu spesifiknya hal apa yang membuatmu telat pulang?” tanya Ruhi lagi. Kali ini Kaif ragu menjawabnya.
“Aku mencari Zara tadi,”
“Sampai selarut ini?”
“Cuma sampai sore,”
“Ketemu?”
Menggeleng, Kaif membalas, “Enggak.”
“Setelahnya? Kenapa nggak langsung pulang?” Ruhi bertanya.
Kaif menjawab, “Aku ikut halaqoh sama Azhar.”
Hening sejenak, Ruhi akhirnya tak lagi menimpali. Merasa suasana terkendalikan Kaif mencoba untuk membujuk. Namun, Ruhi memberi penolakan. Perempuan itu menghindar menuju lemari mengutak-atik berang di dalamnya, sementara Kaif tak tinggal diam mendekati.
“Kamu masih marah, Ru?” tanya Kaif begitu tiba di belakang Ruhi.
“Sedikit,” jawab Ruhi dengan serak isak terdengar. Tak menghadap.
“Aku harus apa supaya amarahmu reda dalam waktu cepat?” tanya Kaif.
Ruhi berbalik menatapnya lekat. “Kenapa kamu yang nawar? Seinstan itu?”
“Makanya coba bilang aku harus apa?” tukas Kaif sembari mengusap buliran being itu di pipi istrinya.
Ruhi terdiam lagi, baru berkata, “Biarkan aku sendiri.”
Kaif mengembus napas gusar, kali ini Ruhi benar-benar membatasi dirinya untuk berbuat, Kaif akui memang salahnya juga pergi tanpa mengabari Ruhi dan meninggalkannya sendirian di sini.
Tak ada negosiasi, Ruhi cenderung menghindar dan menyendiri. Bahkan ketika ada bunda di rumah, perempuan itu lebih memilih bersenda gurau dengan mertuanya. Mendadak galau, sudah sehari semalam Kaif diacuhkan membuatnya semakin tertekuk saja.
“Ruhi bantu Bunda masak, ya?” tawar Ruhi menghampiri mertuanya di dapur. Fitri sudah sejak dini hari di sana dan menyibukkan diri melakukan apapun yang dia mau.
“Nggak usah, Bunda senang, kok. Lagipula kamu kelihatan pucat gitu mukanya, kecapean itu!”
“Tapi, Ruhi nggak enakan sama Bunda,” akunya.
“Santai saja!” balas Fitri yang tangannya sibuk mengaduk adonan kue.
Kaif yang sedari tadi mengamati di seberang akhirnya menyahut, “Bunda bisa Kaif bawa Ruhi sebentar?”
“Tuh dipanggil suamimu. Sana!” titah bunda.
Ruhi tersenyum ke arah Fitri, lalu berganti melirik Kaif. Ruhi berjalan mengekorinya sampai mereka berada di lorong kamar, Ruhi berhenti sejenak begitu kepalanya mendadak terasa pusing hingga Kaif ikut berhenti saat tak merasakan pergerakan di belakang.
“Ruhi,” panggil Kaif.
Ruhi mengangkat pandangan melirik, langkahnya kembali terbawa mengekori sang suami memasuki kamar mereka.
“Aku butuh minyak angin, tapi nggak ketemu. Bisa bantu nyari?” ujar Kaif pada inti.
Ruhi tak membalas. Namun, pasti membantu suaminya itu. Nakas menjadi objek pertama yang dieksekusi, tetapi Ruhi tak mendapati yang dicari di sana. Bergilir meraih kotak obat, Ruhi mengutak-atik isi di dalamnya dan menemukan minyak angin itu.
“Ini, kan?” tanya Ruhi menyodorkan benda itu di hadapan Kaif.
“Olesin bentar, mau? Badanku pegal sejak semalam,” pinta Kaif terus terang.
“Efek kehujanan? Makanya, jangan cari penyakit,” tukas Ruhi menarik tangan Kaif lalu menyuruhnya duduk di ujung dipan.
Kaif yang diperlakukan demikian hanya diam, bibirnya berkedut menahan senyuman. Ruhi, perempuan yang ketika merajuk tetapi masih perhatian. Bagaimana Kaif tidak cinta?
“Bagian mana yang dioles?” tanya Ruhi.
“Punggung saja,” jawab Kaif bergerak melepas koko putih itu dari tubuhnya.
“Eh, kok, buka baju?” cegah Ruhi.
“Loh? Kan, biar gampang. Ya, harus buka baju!” balas Kaif dengan alis menukik satu. “Lagipula kamu pernah lihat, masa canggung?”
Geplakan pelan diterima Kaif di lengan membuatnya meringis. “Sakit!”
“Nyebelin!” pungkas Ruhi hanya dibalas kekehan oleh empunya.
Ruhi tak lagi meladeni, mau tak mau Ruhi pun memulai aktivitasnya mengoleskan minyak angin itu ke punggung suami dan meratakannya dengan benar. Di tengah-tengah aktivitasnya Ruhi tiba-tiba beranjak turun dari tempat tidur berlari memasuki bilik kecil di ujung ruangan.
Kaif yang memperhatikan gerak-geriknya terheran-heran, langkahnya tertarik mengikuti Ruhi. Mengetuk pintu kamar mandi memastikan istrinya baik-baik saja di dalam sana.
“Ru, kamu kenapa?” tanya Kaif.
Tak ada balasan, hanya terdengar alibi Ruhi yang sedang mual-mual di dalam, membuat Kaif semakin khawatir.
________________
Next part? Jejak ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
SpiritualKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...