28. Kabar

1.6K 158 8
                                    

Rintik hujan semakin deras mengguyur bumi sore ini. Menambah kesejukan yang kian menusuk hingga tulang terdalam, meski suhu ruangan stabil masih juga tak memberi reaksi apapun bagi Kaif dengan selimut tebalnya yang berlapis-lapis. Lelaki itu mengigil kedinginan.

“Kubilang juga apa tadi, kamu masih belum sembuh dari pilekmu malah ngeyel nerobos hujan!”

Kaif menoleh pada sang empu. Menyengir kuda seolah mengatakan dirinya baik-baik saja. Tidak dengan Ruhi yang menatapnya sengit, sesekali tangannya bergerak memeriksa suhu tubuh Kaif.

“Aku nggak apa-apa, cuma kedinginan saja,” ujar Kaif, bangkit dari baringannya.

“Nanti kalau tambah demam gimana?” tanya Ruhi.

“Enggaklah. Kalaupun demam juga nggak bakal separah yang kamu kira,” kata Kaif sembari bersandar di sandaran kasur. Dia melirik sang empu dengan senyum manis. “Asupanku daun kelor yang mengandung zat besi, besi sudah pasti kuat.”

Ruhi berdecih. “Tetap bakal ada masanya besi itu berkarat.”

“Besi itu nggak bakal berkarat semasih ada yang mengasah.” Kaif membalas dengan suara tenang, menarik perhatian empunya untuk menatap.

“Kamu bawel juga, ya, Kaf!” celetuk Ruhi tiba-tiba.

Kaif menahan tawa melihatnya. Bergerak meraih pipi chuby istrinya dan mencubit gemas. “Kamu lebih bawel dari aku, Sayang!”

“Kaf!”

Lagi, pekikan bersama geplakan mendarat di lengan Kaif. Namun, tak berarti apa bagi Kaif yang kesenangan menjaili Ruhi. Sampai ketukan pintu terdengar di seberang disusul suara Fitri yang memanggil membuat Ruhi beranjak segera dari tempatnya.

Entah apa yang kedua perempuan itu bicarakan. Kaif yang memperhatikannya hanya berkerut heran hingga Ruhi melesat pergi dari ambang pintu bersama bunda menambah rasa penasaran Kaif tetapi tak berinisiatif untuk mencari tahu.

Malam harinya, Ruhi baru kembali ke kamar, sementara Kaif baru saja selesai melaksanakan tiga raka'at Magrib di sana. Hujan masih berlanjut hingga malam harinya membuatnya kesulitan untuk ke masjid, badannya masih kurang sehat untuk berinteraksi dengan cuaca di luar.

Fokus Kaif tertuju pada Ruhi yang baru saja memasuki kamar setelah lama bersama bunda sejak sore tadi.

“Ru,” panggil Kaif mendekatinya di depan lemari.

Ruhi tak menyahut. Dia sibuk berkutat dengan koper bawaannya saat kemari yang sebagian isinya belum dia rapikan ke dalam lemari.

“Ru.” Kaif memanggil lagi, kali ini berhasil mengalihkan perhatian Ruhi.

Perempuan tanpa cadarnya itu berbalik, matanya sembap dengan buliran bening yang menggantung di ujung pelupuk berangsur luruh membasahi pipi putih itu. Kaif terheran.

“Hei? Ada apa?” tanyanya mengusap air mata Ruhi. “Kamu kenapa nangis?”

“Eng-nggak, Kaf.” Ruhi menggeleng kuat.

“Ru, ngomong yang jujur. Ada apa sih?”

Ruhi menggeleng lagi. Menarik napas dalam lalu mengembusnya pelan, berusaha tenang. Sedangkan Kaif diam menatapnya lekat.

“Kaf, a-aku ... .”

Kaif kembali meraih pundak istrinya saat Ruhi lagi-lagi sesak menahan isak. “Tenang dulu. Oke?”

Perempuan itu semakin terisak, dia terlihat semrawutan dengan air mata yang tak berhenti tumpah. “Kaf. Abah, Kaf. Dia ... .”

“Ru, tenangin dirimu dulu, ada apa sebenarnya hm?” tanya Kaif dengan kebingungan yang semakin menjadi-jadi.

“A-abah, Kaf. Abah meninggal ... .” Tangis Ruhi pecah juga, dia tersungkur ke lantai. Kakinya melemas tak lagi kuat menopang badan bersamaan hatinya seolah remuk begitu mengetahui kabar kematian sang ayah.

Tidak jauh berbeda dengan Kaif. Dia ikut bergeming mendengar kabar tersebut, matanya terpejam berat seiring tangisan sang istri yang terdengar pilu. Kaif mengepalkan tangannya kuat-kuat, atensinya terarah pada Ruhi dan duduk di hadapannya.

Kaif menarik sang empu lalu mendekapnya erat, berusaha menenangkan.

“Kaif ... abah, Kaf,” sebutnya lirih. “Dia meninggalkanku, Kaf.”

“Itu artinya tugas abah sudah selesai,” kata Kaif.

“Aku belum siap, Kaf. Dia berjanji akan mengunjungi kita di sini,” tuturnya terisak.

“Surga Allah lebih menanti kunjungannya, Ru. Sabarlah,” balas Kaif tanpa sadar air matanya ikut menetes.

Ruhi mendongakkan wajahnya, air matanya berlinang deras mengaliri pipinya. Mulutnya terus mengeluarkan isakan, hingga lagi menjatuhkan kepalanya di pundak Kaif menangis di sana.

“Aku nggak sekuat itu, Kaf,” isaknya.

“Iya, tapi kamu lebih dari itu. Percaya, Ru, Allah lebih menyayangi abah,” balas Kaif mengusap lembut kepala Ruhi penuh sayang.

Dalam bayang, Kaif terdiam memikirkannya. Memori akan sang mertua masih hangat dalam benak, terlebih saat mengingat bagaimana dia menertawakan wajah kusut Kaif saat ijab qabul berlangsung. Dua bulan lalu ... .

“Naima Ruhiatul Ahyar binti Ahmad Ismael, ingat betul-betul nama anak Abah, ya! Masa begitu saja nggak hafal!” ujar lelaki paruhbaya bersorban putih itu seraya menggenggam erat tangan Kaif.

Sementara lelaki berjas putih lengkap dengan kopiahnya itu hanya mangut-mangut paham, wajahnya tampak kusut.

Tanggungjawab atas Naima mulai saat ini saya serahkan kepadamu, ya, Nak. Jaga dia dengan benar, sayangi dia sebagaimana kamu mampu melakukannya,” pesan abah Ahmad.

“Kalau seandainya terjadi masalah di antara kalian berdua, jangan sesekali kamu biarkan dia keluar dari pengawasanmu meski selangkah kakinya berpijak. Apalagi dia sampai meninggalkan rumah kalian, cegah dia!”

Kaif mengangguk patuh begitu tangannya digenggam erat olehnya. “Mengerti.”

___________

Jangan lupa jejaknya ya, shalihah🙂

Ketika Hati Berkiblat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang