Pagi menyambut keluarnya Kaif dari rumahnya, berdiri di depan pintu seraya menarik napas menghirup dalam udara segar pagi ini. Fokusnya kemudian terarah ke halaman seberang, ada bundanya yang sedang ditemani Ruhi menyiram beberapa jenis tanaman bunda di sana sembari berbincang-bincang hangat hingga menimbulkan gelak tawa yang ikut membuat Kaif penasaran.
“Belum berangkat kamu, Kaf?” tanya Fitri sembari meletakan selang di pinggir pagar. Menghadap penuh pada sang putra di hadapan.
“Paman mintanya sore, Bun.”
“Memangnya ke mana, Bunda?” tanya Ruhi memicu lirikan Kaif.
Lelaki itu menyunggingkan seulas senyum mendengar istrinya memanggil bundanya dengan sebutan yang sama. Secepat itu rupanya mereka akur.
“Ini. Biasa Kaif kerja di toko busana milik ayah yang sekarang lagi dikelola bareng pamannya,” jawab Fitri.
“Ooh, sudah lama kerja di sana?” tanya Ruhi lagi.
“Sudah cukup lama sih, mulai kerjanya sejak awal tahun kemarin. Kuliah sambil kerja,” balas Fitri diangguki Ruhi. “Oh ya, kalau memang Kaif lagi nggak ada kerja, temani Ruhi di sini dulu, ya. Bunda mau ke dalam buatin kalian bolu kukus!”
“Ru temani, ya, Bun!” tawarnya.
“Nggak usah, di sini saja sama Kaif. Kalian ngobrol-ngobrol dulu,” kata Fitri lembut. “Kaf, jagain mantu Bunda, jangan diajak manjat pohon!”
“Iya, Bun. Aman!” balas Kaif tersenyum.
Fitri mengangguk lalu segera mungkin beranjak dari halaman dan masuk ke dalam rumahnya, sementara Kaif dan Ruhi ditinggalnya di sana.
“Manggilnya sudah bunda-bundaan, ya,” ujar Kaif menegurnya.
“Dia, kan, sudah jadi bundaku juga. Apa salahnya?” celetuk Ruhi bersedekap tangan di dada.
“Iya-iya, asal kalian bahagia sampai nanti aku nggak dianggap anak juga nggak apa-apa,” celoteh Kaif.
“Dengan alasan apa bunda nggak nganggap kamu anaknya lagi? Justru kamu sebagi anak laki-lakinyalah yang memiliki tanggungjawab penuh terhadap bunda. Meski anak laki-laki itu sudah menikah, dia tetaplah milik ibunya,” balas Ruhi dengan suara tenang.
Kaif tersenyum mendengarnya dengan kepala tertunduk.
“Emm, boleh kutanya sesuatu?” Ruhi kembali bersuara menegur membuat suaminya itu melirik dengan kepala mengangguk.
“Tanya apa?”
“Aku cuma keingat perkataan bunda tadi. Kamu kuliah sambil kerja, otomatis tanggungjawabnya berkali-kali lipat dengan adanya aku sebagai istrimu. Dalam dua bulan terakhir sejak kita nikah, kok, kamu bisa ngatur keuangan sendiri?”
Kaif kembali tersenyum mendengar pertanyaan Ruhi, sesekali menatap ke arah langit biru nan cerah itu, lalu menjawab, “Sebenarnya jawabannya tertebak. Dibalik itu semua sudah pasti ada sosok hebat yang mendukung dan dialah bundaku. Coba kamu telaah lagi deh, mana bisa seorang anak senakal aku bisa atur kehidupan sendiri tanpa adanya yang mengampu?”
“Sudah pasti sih, ibu itu madrasah terbaik untuk anak-anaknya,” kata Ruhi seraya tersenyum. “Eh, tapi, kok, bisa kamu bilang kamu anak yang nakal? Padahal kelihatannya mukamu kayak orang benar!”
Melirik, Kaif berdesis mendengarnya. “Panjang ceritanya! Nggak usah dibahas juga!”
“Kan, aku pingin tahu!”
“Nggak penting, mending ikut aku ambil mangga!” ajak Kaif.
“Ingat amanah bunda, Kaif. Aku jangan kamu ajak manjat pohon!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
EspiritualKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...