Pukul 13:40 pm. Mata kuliah pertama masih berlangsung, sementara Kaif kini sudah terlihat letih, wajahnya tidak memperlihatkan adanya hilal semangat seperti biasa memicu rasa heran bagi Azhar sekarang.
"Kaf, kenapa?" tanya Azhar setengah berbisik. Dia mesti menjaga sopan santun di saat dosennya menjelaskan materi di depan.
"Enggak." Hanya itu balasan yang keluar dari mulut Kaif. Dia benar-benar tak bersemangat.
"Sebelum ke sini sudah makan?"
Menoleh pelan, Kaif menjawab, "Puasa."
"Hah?" Alis Azhar terangkat satu disusul senyuman yang memuntung, jawaban keramat Kaif membuatnya sedikit tercengang. Tumben sekali temannya ini.
"Jadi itu alasanmu tadi nggak ngantin?" Azhar kembali bertanya pada sang teman. Dia masih penasaran dengan Kaif hingga tak ada pembahasan lain yang berlangsung sepanjang perjalanan di koridor kampus setelah perkuliahan selesai.
"Ya, namanya juga puasa. Ngapain pula ke kantin?" jawab Kaif sedikit ketus.
"Iya, iya. Makanya kubilang tumben banget kali ini puasa," kata Azhar.
Kaif melirik sekilas. "Wey, gini-gini aku juga mau belajar!"
"Ngerti, Kaf. Alhamdulillah," balas Azhar turut senang.
Kini langkah keduanya terbawa menuju lantai 1, berniat akan segera pulang sebelum langit kembali mendung. Namun, tidak untuk Kaif yang mesti menunggu kabar Ruhi, keduanya telah berjanji akan pulang bersama setelah perkuliahan selesai.
Sembari menunggu notifikasi balasan dari pesannya, Kaif beralih menuju parkiran. Tetapi, tiba di sana dia malah dipertemukan dengan Anang. Lelaki itu jelas menghampirinya lebih dulu, sampai keduanya berhadapan, Anang dengan angkuhnya melempar beberapa lembar kertas berangka ratusan kepada Kaif.
"Catat namaku, lunas untuk administrasi camping pekan depan!" tuturnya tanpa ekspresi.
Lain dengan Kaif yang menatapnya nanar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lelaki berhoodie putih itu menghela napas gusar.
"Situ sadar nggak lagi minta tolong sama orang lain?" tanya Kaif berupaya tenang.
"Terus, kenapa?" Lagi, Anang menyahuti dengan sombongnya.
"Belajar sopan santun?"
"Wiih, si mantan bad boy ngomongin soal sopan santun. Kayak sendirinya nggak pernah saja!" cibir Anang.
"Aku malas sumbang suara. Kalau butuh, perlakukan orang dengan baik!" celetuk Kaif hendak beranjak tanpa mau peduli dengan uang yang sudah berceceran di lantai itu.
"Ambil uangnya!" seru Anang.
Menoleh, Kaif membalas, "Punya tangan, kan? Pakai!" Setelahnya Kaif berangsur pergi meninggalkan wilayah kampus bersama kendaraannya.
Tidak dengan Anang yang masih merutuki kepergian lelaki itu. "Awas saja, semuanya belum berakhir, Kaf."
***
Lagi, langit terlihat mendung lalu perlahan menumpahkan muatannya. Gerimis mulai turun, tetapi tidak membuat Ruhi beranjak dari tempatnya. Berdiri seraya memandang ke ujung selatan jalan menanti kehadiran Kaif bersama kuda modernnya.
10 menit berlalu, Kaif baru muncul saat hujan deras akan turun membuat Ruhi segera menghampiri, mereka berkendara pergi meninggalkan fakultas tetapi tak langsung pulang ke rumah. Kaif membawa Ruhi berteduh di bawah halte di samping ATM yang diperkirakan jaraknya tak terlalu jauh dari kampus.
"Nih, pakai!" titah Kaif setelah melepas hoodienya dan menyisakan kaus hitam yang masih melekat di badan.
"Aku nggak kedinginan," ucap Ruhi.
"Nggak apa-apa, pakai saja," balas Kaif seraya menyugar rambutnya yang setengah basah.
Ruhi memperhatikannya sejenak lalu perhatiannya tertuju pada kresek hitam bawaan Kaif.
"Ini apa?" tanya Ruhi.
"Oh, whiskas buat kucing, aku lama karena mampir beli ini tadi."
Mangut-mangut Ruhi melihat isi di dalam kresek tersebut. Dia juga mendapati beberapa bungkus jajanan di sana membuatnya berkerut kening dan kembali menyahuti, "Tapi, kan, kucing nggak makan snack juga, Kaf. Atau snacknya memang buat kamu makan sendiri? Eh, kan, lagi puasa."
Kaif tersenyum dan membalas, "Snacknya sekalian kubeli buat kamu. Nih, dimakan. Jangan sok-sokan ikut nahan lapar cuma karena aku puasa."
Ruhi mengerjap pelan dengan tangan tertuntun menerima sekresek jajanan tersebut dari Kaif. "Kok, kamu tahu aku ikut puasa?"
"Semalam kamu nggak ikut Tahajud, Subuh juga," jawab Kaif. "Sudah pasti kamu ikut-ikutan puasa, kan? Buat apa sih kayak gitu? Yang ada kamu sendiri yang kesusahan."
Tertunduk, Ruhi menyunggingkan seulas senyum. Dinginnya suasana siang ini seolah tak memberi reaksi apapun bagi Ruhi yang wajahnya kian terasa panas, salah tingkah mendapat perhatian.
"Ayo, Ru!" Kaif bangkit tiba-tiba, tangannya terulur mengajak Ruhi beranjak.
"Jalan sekarang, Kaf? Masih hujan loh," kata Ruhi mendongakkan wajahnya memelas.
"Takut hujannya makin lama makin deras, nanti bakal lebih kesulitan kita pulang," balas Kaif.
Ruhi mengangguk sekali seraya meraih uluran tangan Kaif, dia berkata, "Nyetirnya pelanan, ya. Jalanan licin."
"Bisa diatur, asal bersamamu," ucap Kaif semringah. Namun, Ruhi malah membalasnya dengan geplakan. Nyaring bunyinya.
"Geli aku dengarnya, Kaf!" pungkas Ruhi. Ada-ada saja drama kehujanan dengan suaminya ini.
Kaif meringis dengan tawa tertahan menatap istrinya yang terlihat malu-malu kambing. "Ngeri juga kamu, Ru. Dikit-dikit aku kena geplak!"
"Ya, kan, kamu duluan yang mulai."
"Nggak harus digeplak juga kali, kamu kira drum badanku kamu geplak terus?" protes Kaif.
"Ya, terus salah siapa?" celetuk Ruhi berubah jengkel.
"Iya, iya salah aku. Kamu mah mana pernah salah? Aku saja yang salah taruh badan!" tukas Kaif tak kalah kesal, sementara Ruhi tertawa lepas melihat raut suaminya.
__________________
Aploadnya lama karena lagi ada kesibukan aja🙂 Oke. Next part? Jejak dulu🍩
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
EspiritualKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...