Sebuah tamparan mendarat di pipi Jihan, dia meringis dengan darah segar di bibir, kemudian tersenyum getir bergilir menatap nyalang lelaki di hadapannya saat ini yang tidak lain Anang.
“Cewek gila. Sudah benar-benar berani? Hah?” serunya menatap tajam, tak henti menampar pipi perempuan itu lagi.
“Maksudmu apa biarin Zara lepas? Siapa yang menyuruhmu?!” bentaknya.
Anang tak menyangka orang yang dipercayainya selama ini malah berbuat nekat, mengambil tindakan dengan sendirinya bahkan tanpa sepengetahuan Anang. Tiba-tiba saja berseliweran informasi tentang Zara, perempuan itu terlepas dari kandang dan itu karena ulah Jihan.
Tak lama setelahnya dia kembali disoroti masa, di akun-akun media sosialnya Anang diburu, kabar tersebut juga telah sampai ke pihak kampus dan Anang dituntut untuk menghadap, begitu pula dengan surat panggilan yang mungkin sudah sampai ke tangan keluarga, ayah sampai menelepon berulang kali saking cepatnya informasi tersebut beredar.
Bersembunyi? Itulah yang Anang lakukan sekarang. Dia menyewa apartemen, dan memanggil Jihan kemari untuk memperjelas semuanya.
“Jawab, aneh!” seru Anang lagi, kesabarannya habis karena perempuan ini.“Jihan!”
“Iya, Anang. Aku yang lolosin dia dari sana, why? Kamu nggak terima? Mau apa? Bukankah sebelumnya sudah ada kesepakatan? Tapi malah kamu yang ingkar!” sergah Jihan berbalik menyentak.
“Kurang ajar!” Ketiga kalinya Anang kembali menampar Jihan. Badan perempuan itu sampai mundur menyentuh pagar balkon apartemen.
“Kamu yang bejat!” gumam Jihan menatapnya tak kalah tajam.
“Jihan!” bentak Anang.
“Apa? Mau tampar aku lagi? Ayo, tampar sepuasmu!” teriaknya membusungkan dada menantang.
Rahang Anang mengeras seiring matanya yang memerah karena amarah. Benar-benar mengutuki perempuan keras kepala ini.
Mengembus napas gusar, Anang berbalik badan berupaya meredam emosi. “Dengar, Han. Kalau seandainya aku terjebak dalam masalah ini, kamu orang pertama yang bakal aku cari, jangan harap kamu bisa hidup setelah semua itu terjadi.”
“Oh ya? Kalau begitu, kenapa harus menunggu nanti? Sekarang saja gimana?” sahut Jihan.
Ansng menoleh 45° ke arahnya, pupil lelaki itu membulat begitu melihat tingkah perempuan tak waras di hadapan. Dia duduk di atas pagar balkon tersebut dengan santai, menampilkan senyum misterius seiring air matanya mengalir dari pelupuk.
“Jangan gila, Jihan. Turun!” seru Anang tercengang.
“Aku memang sudah gila, Anang. Karena kamu! Aku pastikan kamu yang membayar semuanya setelah ini!”
“Jihan, turun!” titah Anang melangkah dekat.
“Selangkah kamu maju, aku benaran lompat!” celetuknya menghentikan langkah Anang.
“Han, jangan macam-macam!” titah Anang was-was dibuatnya.
“Katakan dulu kamu mencintaiku, baru setelah itu aku nurut!” tuturnya.
“Jihan ini nggak lucu!”
“Dengan kamu terus-terusan nekan dan siksa aku, kamu kira itu lucu?” bungkamnya.
“Jihan, tolong jangan nambah masalah. Aku minta kamu turun sekarang!” Anang perlahan mendekat.
Jihan kembali tersenyum, dia juga mengangguk kecil. Namun, begitu Anang mendekat bukannya menuruti perintah, perempuan itu malah merentangkan tangan sembari menghempaskan badannya hingga terjun bebas dari balkon apartemen lantai 5.
“Jihan!” teriak Anang kalah telak.
Badan Jihan telanjur jatuh dan menyentuh tanah, bahkan dalam waktu singkat darah mengalir dari bagian kepala dan hidungnya bersamaan beberapa orang di sekitar mulai berdatangan mengerumuni perempuan yang entah bagaimana nasibnya di sana.
***
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un,” sebut Farisi bangkit dari tempatnya. Memicu lirikan dari temannya di sekret FMIPA.
“Kenapa, Ris?” tanya Jhuan dan yang lainnya.
“Siapa yang meninggal?” tanya Azhar ikut menimpali.
“Jihan, anak prodi Kimia. Tahu, kan?”
“Inna lillahi, meninggal kenapa?” tanya Azhar.
“Nggak mungkin mati gantung diri karena stres laporan, kan?” sahut Jhuan.
“Ngadi-ngadi. Dia lompat dari gedung apart,” jawab Farisi.
“Kok, bisa?” tanya Jhuan.
“Ya, makanya itu yang bikin heran. Padahal dia cewek pendiam, walaupun agak sinting dikit, tapi pintar!”
“Sinting sama pintar ibarat air sama minyak, mana bisa nyatu?” celetuk Jhuan.
“Sudah, nggak usah digosipin. Orang meninggal seharusnya dido'ain yang baik-baik,” lerai Azhar.
“Benar, tapi kasihan sih dia,” gumam Farisi menatap remang sebelum sorotnya kembali tertuju pada Jhuan yang kini berkutat dengan gulungan kabel dalam kardus.
“Jhu? Itu kabel buat apa?” tanyanya.
“Diberesinlah, buat apaan lagi?”
“Ooh, kirain mau nyusul,” balas Farisi.
Jhuan melempar senyum tipis lagi terpaksa. “Iya, kita barengan kalau mau. Tapi kita nanam pohon tomat dulu.”
“Buat apaan?”
“Gantung diri!” ketus Jhuan. “Ngawur banget! Amal belum kekumpul sudah ngajak berpulang. Nasihati temanmu nih, Zhar!”
Azhar menoleh dan berkata, “Ris, dengar. Sesungguhnya kematian itu pasti terjadi, nggak bisa diundur barang sedikitpun dan nggak bisa dimajukan barang sedikitpun.”
“Wiih! Siap, Pak Ustadz.” Farisi menyengir kuda, sementara Azhar terkekeh menanggapinya.
____________________
Ayo ayo, jejakin yang rapi. Ajak teman juga mampir ke sini😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
EspiritualKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...