Matahari naik dua jengkal di atas kepala, menyambut pasutri muda Kaif dan Ruhi yang pagi ini sudah bersiap akan melanjutkan rutinitas mereka. Senin ini Ruhi terjadwal mengikuti kelas pagi, sementara jadwal kuliah Kaif masih siang nanti, tentunya dia akan berangkat lebih awal membersamai istrinya.
Setelah berpamitan dengan Fitri, keduanya mulai beranjak meninggalkan perkarangan rumah dengan kuda modern yang ditunggangi menuju majelis perguruan tinggi negeri Universitas Mataram. Namun, Kaif memberhentikan kendaraannya begitu tiba di area belakang kampus usai menenpuh waktu 20 menit perjalanan dari rumah.
“Kenapa turun di sini?” tanya Kaif. Ruhi memintanya berhenti di sana padahal wilayah parkiran berada di sisi depan kampus.
“Aku nggak mau kamu terlibat masalah hanya karena pandangan orang-orang tentang aku yang tiba-tiba dekat sama kamu,” jawab Ruhi sembari berupaya melepas helm dari kepalanya.
“Kita sudah menikah, Ru,” singgung Kaif.
“Benar. Tapi, nggak semua orang tahu dan nggak semua orang punya pemahaman menanggapi perkara syariat dalam mengatur pernikahan yang seperti ini,” tutur Ruhi menjelaskan.
Kaif menganggukan kepalanya sekali, dia mengerti dan memakluminya.
“Aku rasa dengan kita bersikap layaknya nggak saling kenal untuk sementara waktu bisa menenggelamkan stigma negatif mereka tentang status kita,” ujar Ruhi seraya menyodorkan helm kepada Kaif.
“Iya, tapi ingat-ingat lagi saja, Ru. Aku nggak bakal tinggal diam kalau ada apa-apa sama kamu, kamu tanggungjawabku,” balas Kaif menatap nanar.
Tersenyum, Ruhi berkata, “Tenang. Aku punya ilmu karate buat nangkis serangan kalau ada yang berani macam-macam.”
Kaif terkekeh mendengarnya. “Si paling!”
Perempuan bercadar itu tertawa kecil, baru setelahnya mengulurkan tangan di hadapan Kaif membuat sang empu berkerut kening.
“Apa?”
“Salaman,” jawab Ruhi setia mengulurkan tangan di hadapan Kaif.
“Nggak usah ah! Nanti bikin orang salah sangka,” kata Kaif.
“Oh iya, ya? Kan, lagi jaga jarak aman!” celotehnya kembali menarik tangannya, dia menyengir kuda di balik cadarnya.
“Kalau gitu semangat kuliahnya, ya! Semangat puasa juga!” bisik Ruhi menyemangati.
“Aman,” balas Kaif sembari mengusap kepala istrinya yang masih berbalut hijab merah muda itu dengan senyum hangat.
Tak hanya hijab yang berantakan, kini dirasa hatinya ikut dibuat berantakan oleh Kaif, Ruhi kesal pada tingkahnya tetapi bersamaan juga menyukainya, eh?
Ruhi seolah serba salah menyikapi perasaan ini, di satu sisi dia mengakui tak menaruh rasa pada sang suami, tetapi di sisi lain juga tak ingin jika perlakuan manisnya yang seperti ini terbagi, apalagi ketika teringat pengutaraan Kaif tentang sosok di masa lalu yang belum selesai, Ruhi tak yakin dirinya bisa secemburu itu.
Meski begitu, Ruhi masih penasaran akan Zara, perempuan yang hanya sekali pernah dilihatnya dan itupun dalam bentuk lembaran foto. Lantaran Kaif tak mau bercerita apapun kepadanya tentu saja tidak membuat rasa ingin tahunya hilang.
“Apa kamu kenal Zara, Gina?”
Perempuan yang dipanggil Gina oleh Ruhi menoleh, dia memperlihatkan beberapa garis kerutan di pelipisnya kemudian bertanya balik, “Di antara banyaknya nama Zara di dunia ini, yang mana satu Zara yang kamu pertanyakan Mbak Ru?”
Ruhi terkekeh pelan lalu membalas dengan suara lirih,“Afwan, maksudku Zara yang mungkin pernah dekat dengan Kaif.”
Semakin heran dengan pertanyaan Ruhi, lagi memicu lirikan dari Gina. Dia menatap Ruhi selidik lalu menghadap sepenuhnya pada perempuan ini.
“Kamu dekat sama Kaif?” Gina bertanya balik, sementara itu Ruhi menggeleng pelan.
“Cuma pingin tahu saja, soalnya kemarin pernah dengar nama Zara,” tutur Ruhi.
“Nama Zara itu banyak, Mbak. Tapi kalau terkait Zara yang kamu maksudkan adalah yang pernah dekat sama Kaif, Zara ... cewek baik-baik sebenarnya,” kata Gina kembali melanjutkan langkahnya bersama Ruhi menelusuri koridor kampus menuju kantin siang ini.
“Hmm,” deham Ruhi dengan kepala mangut-mangut. “Zara itu cewek spesial, ya?”
“Enggak sih, Mbak Ru. Dia sehat, kok, bukan anak spesial gitu,” balas Gina tangkas.
“Maksudku bukan itu,” kata Ruhi tertawa renyah.
“Ooh, spesial bagi Kaif menurutmu gitu?” tanya Gina berusaha memperjelas.
Ruhi mengangguk sekali dengan gerak menduduki kursi di taman samping fakultas, jaraknya tidak terlalu jauh dari parkiran hingga dengan mudah mata mengakses kegiatan di sana.
“Aku sebenarnya nggak tahu pasti tentang Zara itu. Cuma selama ini yang kudengar Zara memang sempat dekat sama Kaif dulu,”
“Mereka pacaran?” tanya Ruhi lagi.
Gina menggeleng beberapa kali. “Jangankan pacaran, Mbak. Zara lirik Kaif yang ada malas, Kaif saja yang ngebetnya minta ampun mau dekat sama dia.”
“Ooh, tapi mereka dekat,” ujar Ruhi.
“Bukan berarti mereka mesti pacaran, kan?” Gina melempar pertanyaan balik. “Lagipula cewek setaat agama seperti Zara mana mau pacaran?”
Ruhi membulatkan matanya begitu pernyataan tersebut terlontar dari Gina. Dia terdiam mencerna maksud Gina dan mengaitkannya dengan beberapa fakta yang Ruhi temukan beberapa hari belakangan ini.
Apa mungkin dengan alasan itu Kaif begitu dalam menaruh hati pada Zara? Perempuan yang notabenenya taat agama, tetapi mereka pernah menjalani hubungan? Hubungan seperti apa yang waktu itu Kaif katakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
SpiritualKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...