46. Gelagat Ruhi

1.1K 113 6
                                    

Langkah kaki beradu cepat menapaki lantai putih itu mengalihkan fokus beberapa orang yang berlalu lalang di lorong rumah sakit. Tiba di lobi, dia berhenti dengan napas terengah-engah.

“Naima Ruhiatul Ahyar, di kamar Serpatih nomor 3,” ucap resepsionis.

Kaif mengangguk, langkahnya cepat mengarah ke kamar yang di maksudkan. Sudah ada Farisi di sana.

“Ruhi gimana?” tanya Kaif.

“Di dalam, lagi diperiksa sama dokter bareng Gina,” jawab Farisi.

Kaif mengangguk sekali, raut itu menyiratkan kekhawatiran yang nyata membuat Farisi terheran-heran. Tak tinggal diam di sana, Kaif beranjak masuk usai pintu terbuka bersamaan sang dokter menghadap padanya.

“Maaf, Dok. Dia─”

“Mas suaminya?” tanya sang dokter memangkas ucapan Kaif.

“Iya,” jawab Kaif mantap.

“Baik, mari ikut saya sebentar,” tutur perempuan berhijab putih itu. Kaif mengekorinya menuju bilik sebelah.

“Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan ibu dan bayinya baik-baik saja. Hanya saja untuk kehamilan trimest─”

“Hah? Tunggu-tunggu. A─apa?” pangkas Kaif sedikit terkejut mendengarnya. “Ibu dan bayi? Hamil?”

“Iya, kehamilan istri Mas terdata baru 4 minggu, biasanya pada trimester pertama ibu hamil cenderung tidak sadar sedang mengandung dan dalam kondisi ini rentan terjadinya hal-hal yang mungkin saja tidak diinginkan,” tutur dokter. “Untuk itu disarankan agar ibu hamil tidak terlalu kelelahan apalagi banyak pikiran karena pengaruhnya besar untuk janin yang masih dalam perkembangan.”

Kaif termangu di tempatnya, sesekali matanya berkedip lambat seiring senyum bahagia itu terbit dari bibirnya. Apa ini artinya Kaif akan segera menjadi seorang ayah muda?

“Wuish! Keren!” gumamnya tersenyam-senyum. “Bisa saya temui Ruhi sekarang, Dok?”

“Tentu saja, dibawa pulang pun bisa. Cuma kembali saya ingatkan lagi, ya, jangan sampai istrinya kecapekan dan usahakan rutin dicek kesehatan ibu dan kandungannya,” tutur si dokter diangguki cepat oleh Kaif.

Tanpa berlama-lama di sana, Kaif segera beranjak keluar menuju ruang rawat Ruhi dengan wajah tak sabaran. Sampai di sana dia mendapati Gina dan Farisi, mereka bersama Ruhi yang masih terbaring di brankar.

“Na, ada apa?” tanya Kaif begitu tiba di hadapan teman-temannya.

“Ruhi, dia minta pulang. Katanya nggak tahan bau rumah sakit yang bikin mual,” jawab Gina.

“Sama sih, kalau aku jadi Ruhi juga bukan lagi mual-mual, muntah darah kayaknya,” sahut Farisi hanya ditanggapi kekehan oleh Gina.

“Ayo, Gina. Antar aku pulang!” pinta Ruhi dengan suara parau.

Kaif mendekat sembari menggenggam tangannya. Namun, langsung ditepis begitu sang empu beranjak dari brankar menuju toilet ruangan. Lagi, dia terdengar mual-mual di dalam sana. Kaif yang khawatir segera mengikutinya sampai di ambang pintu.

“Ru,” sebut Kaif.

“Gina, bisa ke sini sebentar?” panggil Ruhi.

“Kenapa, Ru?” tanya Gina ikut menghampiri.

“Tolong urut punggung leherku,” pintanya.

“Biar aku saja,” kata Kaif.

“Enggak, aku mau Gina!” ketus Ruhi menolaknya mentah.

Kaif tak dapat membantah meski rasanya sedikit sakit di dalam sini. Tak ada gunanya protes, Kaif menyangka mungkin bawaan orang hamil begitu hingga dia berbalik dengan mengulum senyum kecut.

“Istrimu kenapa sih? Gelagatnya aneh gitu,” ujar Farisi mempertanyakan.

Setelah dari rumah sakit, Kaif memutuskan membawa Ruhi pulang diantar Gina dan Farisi tentunya menggunakan mobil yang mereka pergunakan untuk mengantar Ruhi ke rumah sakit tadi.

Ruhi sudah lebih dulu turun dan Gina mengajaknya masuk.

“Nggak apa-apa, biar Ruhi jadi urusanku. Dan terkait Zara ... .” Kaif menatap remang ke depan menggantung ucapan.

“Zara biar aku sama Azhar yang tangani, nggak lama lagi kasusnya pasti terungkap. Nggak usah khawatir,” ucap Farisi.

Kaif berdeham pelan, keberadaan teman-temannya memang sangat membantu untuk hal ini, di mana tak seharusnya bergerak sendiri apalagi setelah mengetahui Ruhi sedang mengandung, Kaif mesti menjadikannya prioritas utama yang harus diperhatikan.

Namun, lain dengan yang sudah ditargetkan dalam rencana. Belum lama pulang dari rumah sakit, Ruhi selalu menunjukkan gelagat tak biasa, cenderung diam dan menghindar. Apalagi di satu waktu bunda hadir di sana, usai mengetahui kehamilan menantunya bunda benar-benar seantusias itu. Kaif hanya dapat memperhatikannya dari kejauhan.

“Ruhi waktumu istirahat sekarang, ayo ke kamar!” titah Kaif dengan suara lembut.

“Bunda bakal sendirian di sini,” ucapnya tanpa melirik ke arah Kaif.

“Nggak apa-apa, Sayang. Lagipula Bunda sudah dari siang temani Ruhi, kamu juga harus banyak istirahat, jangan kecapekan!” ujar Fitri hanya dibalas anggukkan oleh sang menantu.

Ruhi gegas pamit pada Fitri, beranjak melewati Kaif begitu saja bak angin lalu, Kaif merasakan jelas Ruhi sengaja membentang jarak di antara mereka.

___________Tbc

Gimana kabar kalian semua? Sehat sehat ya:)

Ketika Hati Berkiblat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang