“Kalau kamu ingin masuk dan kenal Islam, jangan melihat muslimnya yang sekarang. Karena kalau kamu melihat muslim yang sekarang ketika sudah berIslam, nanti kamu keluar lagi.”
-Kaif al-Jihah-▄
▄
▄
Rabu siang kantin kembali ramai didatangi mahasiswa kampus, seperti biasa mereka akan menyisipkan untuk waktu jajan atau ada yang sambilan mengerjakan tugas kuliah, tertanda mereka mahasiswa rajin. Tidak terkecuali Kaif dan Azhar, keduanya nangkring di sana setelah jadwal mata kuliah siang ini selesai.
“Misi, mau pesan apa, Mas?” tanya salah seorang wanita paruhbaya berhijab berwarna hitam se-juyub dengan catatan kecil di tangannya. Sita, pekerja di kantin itu.
Melirik, Kaif menjawab, “Emm, beras yang telah dikukus dengan air sepertiga ruas jari.”
“Nasi,” perjelas Azhar melirik temannya malas. Sementara Sita mencatat pesanan.
“Sama hewan pertebrata poi kilometrik yang hidup di air dan bernapas dengan insang yang terpanggang di atas bara api selama kurang lebih 10 menit pada suhu 450 farenhead,” ujar Kaif menjelaskan menu yang dipesan, lain dengan Sita yang planga-plongo menatap mahasiswa satu ini.
“... Dibelah lalu ditaburi irisan kopsikum, anum, solenum, koleksikum, singh dan ekstrak kelapa sawit yang sudah diolah sedemikian rupa.” Kaif kembali meraup oksigen setelah menyelesaikan ucapannya.
“Nggak usah dipersulit, Kaf. Mentang-mentang anak ilmu lingkungan,” celetuk Azhar, kemudian melirik Sita. “Dia pesan ikan rica-rica, Bi.”
“Ooh, ikan rica-rica,” alibi Sita seraya mencatat menu yang dipesan Kaif. “Terus, kamu mau pesan apa?”
“Oh, saya sih simpel saja. Minumannya ekstrak daun camelia sinensis yang dilarutkan pada air dan sari tebu, terus ditambahkan air 0 derajat celcius.”
“Es teh, bangke!” sergah Kaif. “Rese kamu!”
“Kenapa? Kamu kira kamu doang yang bisa rese, Kaf?” pungkas Azhar menatapnya tak kalah malas.
“Gelud kita, yok!” ajak Kaif menggebrak meja kantin sontak mengundang banyak mata untuk melirik.
“E-eh, jangan berantem di sini!” tegur Sita seraya berkacak pinggang.
“Hehe, maaf, Bi. Kami bercanda, kok,” lerai Azhar cengengesan. Namun, matanya tak henti mengintimidasi Kaif.
“Ya sudah, tunggu pesanan kalian di sini. Agak lama sih, karena banyak yang mesan,” ucap Sita.
“Iya, makasih Bi!” kata Azhar tersenyum sopan mengiringi kepergian Sita untuk membuat pesanan mereka.
“Cuma mesan minum doang kamu? Nggak pesan makan?” Kaif kembali bersuara bertanya pada sang teman.
“Lagi nggak lapar,”
“Lagi nggak lapar atau lagi nggak nafsu makan?”
“Makan itu karena lapar, Kaf, bukan karena nafsu.”
“Nggak ada bedanya, bege!” balas Kaif.
“Jangan ngomong kasar! Kurantai mulutmu, ya!” ancam Azhar terlewat kesal.
Lain halnya dengan Kaif yang tersenyum memperhatikan temannya. Azhar terlihat sedang tak bersemangat, tidak seperti hari-hari sebelumnya.
“Kaf, tadi malam kenapa nggak ikut halaqoh? Ustadz Adam nanyain kamu semalam,” ujar Azhar kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
EspiritualKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...