32. Kebal Cemburu

1.5K 155 11
                                    

Ruhi melangkah cepat memasuki rumah usai turun dari motor, sementara Kaif menyusul setelah memarkirkan motornya di garasi. Kepulangannya menimbulkan rasa heran bagi Fitri begitu melihat Kaif mengejar sang menantu.

“Ru, dengarin aku dulu!” pinta Kaif melanggang masuk ke dalam kamar menghampiri sang istri.

“Dhuha dulu, Kaf,” kata Ruhi tanpa mau menatap.

Kaif mengembus mapas dalam mengangguk sekali. “Oke, tunggu bentar.”

Ruhi hanya bergeming dingin, membiarkan Kaif melakukan aktivitasnya. Keluar dari kamar kecil, dia bergerak mengganti pakaiannya di sana.

Pupil Ruhi melebar sesaat lalu berpaling seraya berkata, “Kenapa mesti di sini sih? Di kamar mandi, kan, bisa!”

Melirik, bibir Kaif berkedut menahan senyuman. Iya, juga! Dia hampir lupa Ruhi masih di sana.

“Tapi, bukannya nggak apa-apa, ya? Sudah halal juga, masa pamer roti dikit nggak boleh?” sahut Kaif menggoda.

Sang empu masih berpaling, tak mau menatap. “Nggak tertarik.”

Lagi, Kaif tersenyum tipis. Dia tahu Ruhi masih kesal padanya, hingga tanpa babibu segera Kaif melaksanakan dua rakat Dhuhah. Dimulainya dengan meluruskan niat, menepis segala beban dengan tenang Kaif mengangkat tangan sejajar di antara kedua telinga, mulutnya bergerak melafazkan kalimat takbir─membesarkan nama sang pencipta dalam ibadah Dhuhanya kali ini.

Kaif dan aktivitasnya selesai dalam waktu kurang lebih 15 menit, baru setelahnya berbalik menghadap Ruhi. Perempuan itu menunggunya duduk di sofa.

“Ru, aku─” Belum selesai Kaif menyampaikan maksudnya. Ruhi sudah langsung memotong.

“Hadap sini, aku obati dulu lukamu,” tuturnya terdengar ketus.

Kaif terdiam dan menurutinya, kalau sudah begini terlihat sekali dirinya tak dapat mengelak dari apa yang dilakukan. Sampai Ruhi mendekat, mengompres beberapa luka lebam di wajah Kaif membuat lelaki itu meringis saat diobati.

“Jangan gerak,” ucap Ruhi menatapnya sendu. Tampak sekali matanya memerah membendung cairan di ujung pelupuk, sementara aktivitasnya masih berlanjut.

“Ru,” sebut Kaif terdengar lembut.

“Lain kali buat luka yang lebih parah dari ini, dan jangan panggil aku untuk ngobatin kamu!” celetuk Ruhi.

Kaif mengembus napas berat, tersenyum tipis seraya berkata, “Kalau seandainya kamu yang melukaiku, siapa yang bakal aku panggil untuk mengobati?”

Melirik sekilas, Ruhi menjawab, “Allah lebih dulu.”

“Setelah itu kamu?”

“Ini yang terakhir,” balas Ruhi menekankan. Tangannya kembali bergerak mengompres lebam di ujung bibir Kaif.

“Ruhi, boleh aku meluruskan persoalan tadi?” ujar Kaif lembut.

“Apa yang mau diluruskan? Fakta yang aku lihat memang benar. Tapi, nggak semua pengorbanan diistilahkan harus dengan melukai diri sendiri, Kaf. Dengan kamu unjuk tanduk kepada yang lebih panjang dan kuat tanduknya hanya akan menambah goresan di bagian yang lain,” tutur Ruhi. Kaif diam menatapnya lekat.

“Bukan aku beranggapan kamu lemah. Hanya saja, ketika kamu berkorban untuk orang lain dan kamu terluka, nggak akan ada yang tahu pada babak selanjutnya kamu bisa menang atau enggak terhadap pengorbanan yang kamu lakukan, tapi jelas luka itu bakal kamu terima. Kalau sudah begitu, lantaran bagaimana dengan perasaanku, Kaf?” lanjut perempuan itu dengan wajah tertunduk. Menyeka buliran yang akhirnya luruh.

Kaif mengulum bibir tersenyum getir, perlahan meraih tangan Ruhi dan menggenggamnya erat. “Aku baik-baik saja. Buktinya masih hidup.”

“Siapa? Zara?”

Kaif tertegun begitu Ruhi mengungkit tentangnya.

“Kalau dia masih hidup, kenapa Kaf? Mau apa?” tuntut perempuan itu lagi membuat Kaif tetcekat.

“Kamu mikir apa, Ru?” Kaif berbalik tanya berupaya melerai pembahasan, sesekali berinisiatif mengusap buliran bening itu di pipi sang istri.

“Kamu bakal melepasku setelah Zara kembali?” sahut Ruhi bertanya. Entah mengapa terlintas dalam benaknya Kaif akan seperti itu di lain waktu. Kekhawatiran itu ada.

“Ngomong apa sih kamu? Mana mungkin kayak gitu?” protes Kaif kembali menggenggam tangan Ruhi. “Aku nggak sekanak-kanak itu nanggapin setiap persoalan.”

“Tapi, lukamu ini karena Zara, kan?” timpal Ruhi.

Kaif menghela napas singkat, berusaha tenang. Setelah ditelaah lebih dalam, ternyata begini wanita. Terkadang ingin diberi penjelasan bawaannya ngajak adu mulut sepanjang jalan kenanga.

“Kamu masih mencintai, Zara?” tanya Ruhi dengan hati-hati.

“Bagaimana caranya aku menjelaskan, Ru?”

“Maka definisikan perasaanmu dulu, baru setelah itu kamu dapat jawabannya. Jangan biarkan hatimu nggak berkiblat dengan benar, tetapkan pada satu posisi saja. Begitu layaknya kamu dalam mencintai orang lain, aku nggak seperti yang kamu bayangkan kebal cemburu,” akunya sedikit membuat Kaif tertegun.

Sementara usai mengucapkan itu, Ruhi beranjak bersama semangkuk air hangat itu.

“Ru,” panggil Kaif setelah terdiam memperhatikan.

“Jangan panggil aku untuk sementara waktu,” ketus Ruhi tanpa berbalik dan melanggang pergi.

Lain halnya dengan Kaif, dia temangu menatap kepergian perempuan berhijab panjang itu. Teringat akan pengakuannya tadi tak henti membuat Kaif kepikiran, seiring dengan munculnya perasaan senang begitu mengetahui perasaan Ruhi terhadapnya. Tetapi, belum juga terbalaskan, istrinya sudah langsung menutup topik dan sekarang harus puasa bicara dengannya. Akan sampai berapa lama?

_____________

Eloo, gimana kabar kalean? Masih idup? Bersyukur ya kalau masih idup, jangan banyak ngeluh, karena saudara kita yang di negeri seberang, sekali embusan napas aja sudah menjadi kesyukuran yang luar biasa.
Kita memang tidak bisa menandingi mereka dari segi perjuangan dan pengorbanan menjaga tanah umat Islam, tapi sebagai wujud keimanan kita, letakkan kesadaran itu pada hati dan pikiran, mari menganalisa fakta bahwasannya saat ini kita juga ikut terjajah, terjajah dari segi pemikiran. Sementara yang kita ketahui bila akal itu terjajah dan hancur, akan rusak seluruhnya. Maka tidak ada cara lain selain menguatkan keimanan, menoleh pada kiblat sebenarnya dan menempatkan hati kita di sana. Ubah pola pikir kita, ubah pola sikap kita untuk jauh lebih kritis untuk menatap setiap persolan dan tidak hanya bertahan di zona nyaman yang tak aman.

Makasih buat yang udah mampir. Kalau ada salah, sampaikan krisar oke? Tandai typo🍩

Ketika Hati Berkiblat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang