41. Aku, kamu dan Allah

1.4K 131 3
                                    

"Cinta yang mulia itu ketika kita melibatkan Allah di dalamnya."
-Naima Ruhiatul Ahyar-

Waktu berputar begitu cepat, sampai tak terasa sudah hampir mendekati ba'da Isya mengharuskan Farisi dan teman-temannya berpamitan tepat usai makan malam di rumah Kaif dan istri.

Farisi dan Indana berangsur meninggalkan perkarangan rumah menggunakan mobil taxi, disusul Azhar dan Gina yang pulang menggunakan motor mereka masing-masing. Menyisakan Kaif dan Ruhi yang setelahnya beranjak masuk usai memastikan keempat teman mereka pergi.

"Nai." Kaif memanggil dari seberang, menghentikan langkah sang empu saat tiba di ambang pintu kamar.

Perempuan itu berbalik dengan ekspresi yang entah. "Panggil aku Ruhi, Kaif."

Kaif terkekeh mendengarnya. "Memangnya kenapa kalau aku panggil kamu Naima? Nggak keseringan juga padahal."

"Panggilan Ruhi itu lebih dalam maknanya, Ruhi artinya jiwa. Kalau kata abah setiap nama Ruhi dipanggil itu kesannya aku jadi ruh bagi setiap orang," jawabnya dan terkekeh pelan.

Kaif mengukir senyum tipis dan melangkah dekat. "Kalau gitu, pantasnya kamu dipanggil Naima oleh setiap orang dan panggilan Ruhi itu hanya untukku saja. Sehingga kamu menjadi satu-satunya ruh bagi ragaku seorang."

Sang empu tersipu tak menanggapi sampai Kaif mendekat dan menyandarkan kepala di pundaknya.

"Mencintai sesuatu secara serakah itu boleh nggak sih?" tanyanya setengah berbisik.

Ruhi terkekeh. "Cinta itu nalurinya manusia, naluri itu datang dari Allah. Serakah itu dari Allah juga, cuma letaknya dia ada pada nafsu. Sesuatu yang murni haq nggak bakal bisa sejalan dengan sesuatu yang dicela."

"Kalau begitu kenapa Allah ciptakan sifat serakah itu?" tanya Kaif kembali berdiri tegak, tertarik dengan ucapan sang istri.

"Itu hanya opsi untuk menguji keimanan seorang hamba, balik lagi ke tujuan hidup manusia. Kalau tujuan hidupnya untuk menggapai rida Allah maka dia tahu cara mencintai sesuatu dengan benar, kalau bukan rida Allah yang jadi tujuan hidupnya maka dia akan condong pada yang dicela dan dilarang. Nah, kalau ditelaah cinta yang benar itu seperti apa? Apa dengan nafsu keserakahan?"

Kaif menggeleng, Ruhi menanggapi dengan senyuman. "Memangnya kamu mencintai apa?"

"Kamu," jawab Kaif terus terang.

Lagi, Ruhi tersipu mendengar ungkapannya. "Jangan berlebihan mencintai sesuatu, karena sejatinya sesuatu yang kamu rasa adalah milikmu itu bukanlah milikmu."

"Iya sih, benar. Tapi, kok, mendadak sakit, ya, dengarnya?" celoteh Kaif. "Kalau gitu jadinya aku harus gimana dong?"

"Nggak sulit, letakkan cinta itu pada pemilik cinta," kata Ruhi.

"Allah?"

Ruhi mengangguk. "Iya, cinta itu akan terasa indah kalau ada Allah di tengahnya."

"Cinta segi tiga dong. Aku, kamu dan Allah."

"Itu definisi cinta yang mulia," balas Ruhi tersenyum lebar.

Kaif mangut-mangut menanggapi, kemudian bergerak memeluk lembut istrinya.

"Kaf, sesak!"

"Jangan banyak alasan, Ru. Peluk doang ini," kata Kaif semakin erat memeluknya, sementara Ruhi bergeming pasrah meladeni. "Katakan sesuatu yang bisa buat aku senang."

"Apa?" tanya Ruhi mendongak menatapnya.

"Apapun,"

Ruhi tampak menimang sejenak. "Apa, ya?"

"Cepat!" pinta Kaif.

Ruhi terkekeh baru kemudian berbisik, "Oke. Aku sayang kamu."

Senyum Kaif menggambang sempurnah di wajah. "Nggak kedengaran."

"Iih! Nyebelin!" ketus Ruhi membuat Kaif terkekeh seraya melepas pelukannya.

Kaif mengecup singkat kening istrinya dan berkata, "Aku lebih sayang kamu."

***

"Kamu yakin mereka punya hubungan lebih dari sekadar kenalan?"

Suara Anang terdengar datar dengan tangan yang sibuk menggeser beberapa potret Ruhi dan Kaif pada gawainya. Sementara itu Jihan berdiri sembari menatapnya dengan tatapan yang entah, Anang sampai melempar remasan kertas ke arah perempuan itu.

"Hum? Kenapa Sayang?" tanya Jihan.

"Fokus!" ketusnya.

Jihan mengangguk patuh. Setelahnya Anang melanjutkan, "Mereka dekat berapa lama?"

"Lama sih, sejak cewek itu kuliah di sini. Kalau dihitung nyampe 2 bulan lebih," jawab Jihan seadanya.

"Kamu pernah lihat mereka ngapain saja?"

"Spesifiknya nggak tahu, tapi intinya mereka dekat di kampus, pernah sekali ngelihat Kaif gandengan sama dia," jawabnya lagi.

Anang berpikir sejenak. "Perlu dilanjut nggak sih permainan ini?"

"Permainan yang mana?" tanya Jihan.

"Menurutmu yang mana dulu?" Anang berbalik tanya.

"Kombinasikan saja, lebih seru, kan?"

"Boleh juga," balas Anang tersenyum penuh misteri.

"Oke, terus ganjarannya apa buat aku, Yang?"

"Maumu apa? Uang?"

Jihan menggeleng pelan, beranjak menghampiri Anang mengendus lengan lelaki itu seraya berbisik, "Aku mau kamu, gimana?"

Anang tersenyum miring lalu mendorong kasar badan perempuan itu. "Nggak usah ngelunjak. Nggak ada yang lebih dari sekadar kita pacaran!"

"Tapi, aku maunya yang beda. Gayamu pacaran dengan cewek lain beda ketika sama aku," protes Jihan.

"Murah kalau gitu!"

"Kamu baru nyadar? Aku kayak gini karena kamu, Anang Sayang!" rengeknya menggelantung manja di lengan Anang.

"Stres!" celetuk Anang menghempasnya kasar.

"Sayang!" serunya.

"Aku cuma mau Zara, paham? Nggak usah berharap lebih!" peringatnya kemudian melanggang pergi dari tempat itu.

Lain dengan yang ditinggal, Jihan berubah marah mengetahui lelaki yang diidam-idamkannya itu rupanya lebih menaruh hati pada Zara yang statusnya masih adik tiri. Padahal, Jihan merasa sudah banyak berkorban untuk Anang, menuruti kemauannya dan melakukan apa yang dia perintahkan, dipuja layaknya Tuhan hanya karena obsesi berkedok cinta.

_________

Apa yang bakal terjadi selanjutnya? Intip hayuu

Ketika Hati Berkiblat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang