30. Kebingungan Tak Berujung

1.4K 157 7
                                    

Hari-hari berikutnya ...

Malamnya, Kaif baru kembali ke rumah. Setelah kuliah dan mengoperasikan toko busana sejak siang menjelang sore tadi  benar-benar membuatnya begitu kelelahan ditambah suasana di rumah begitu sunyi, tak ada suara bunda yang menyambut kepulangannya seperti biasa, juga Ruhi. Entah sedang apa istrinya itu sekarang, Kaif baru teringat terakhir kali menghubunginya saat di kampus tiga hari lalu, itupun baru direspon sehari setelahnya. Mereka hanya bertukar kabar, walau tak lama mengingat Ruhi masih berduka dan Kaif tak kalah sibuk di sini.

“Jangan lupa makan, ya. Jangan banyak pikiran, tapi kalau banyak-banyak mikirin aku sih nggak apa-apa juga, soalnya itu baik dan bernutrisi untuk proses pertumbuhan cinta kita,” kata Kaif menghibur.

Namun, hiburannya tampak tak berarti apapun bagi Ruhi saat terhubung via telepon dengannya kemarin.

Kaif memaklumi situasi yang tengah dihadapi Ruhi, kehilangan sosok yang sudah berperan penting dalam hidup memang tidak semudah itu dibayangkan, terlebih bagi seorang anak perempuan yang rela tak rela harus melepas kepergian sang ayah.

Terpejam sesaat, Kaif bernapas dalam begitu membayangkan hal yang sama pernah terjadi pada dirinya beberapa bulan lalu. Kehilangan dua orang yang dicintai sekaligus dalam jeda waktu yang tak berselang lama, ayahnya dan Zara, mereka telah tiada. Hidup di dunia ini hanya sementara, sejenak singgah dan menunggu giliran.

“Besok-besok mungkin saja itu aku,” monolog lelaki itu dengan mata terpejam berat berusaha meredam rasa lelahnya seorang diri sampai dalam detik berikut dia terlelap di sofa tersebut.

Entah berapa lama Kaif terpejam, dering yang bersumber dari saku celana membuatnya terbangun dari alam bawah sadar, perlahan menggeser pola dan menerima panggilan, Kaif merekatkan benda pipih itu di telinganya.

Sesaat Kaif terdiam, sengaja menunggu sosok di seberang telepon memulai pembicaraan. Namun, tak ada suara siapapun yang terdengar selain rintikan air yang semakin lama deras mengalir.

2 detik..
4 detik..
10 detik..

Masih tak ada yang menyahuti hingga panggilan terputus. Kaif berkerut kening sembari memposisikan tubuhnya duduk tegak, melirik kontak yang tak asing baru saja menghubunginya.

“Ada apa lagi nih cucu abu Lahab?” tanya Kaif menatap nanar. Baru setelahnya kontak tersebut kembali menelepon.

Kaif siaga menerima panggilan tersebut dengan respons yang sama, dia tentunya diam menunggu pemilik kontak menyapa lebih dulu. Namun, lagi-lagi si penelepon diam saja, yang terdengar pun hanya bunyi air.

Kaif menarik napas dalam merasa kesabarannya teruji oleh manusia di seberang sana, membuatnya terpaksa menyapa, “Halo!”

Masih tak ada balasan. Lagi membuat Kaif naik pitam karenanya. “Hei, cucu abu-abuan, situ kalau ada yang mau diomongin bisa langsung ngomong saja nggak sih? Tiba-tiba bisu, dikira lucu? Ganggu jam tidur orang saja!”

Tak ada respons. Suara aliran air malah yang terdengar semakin deras, entah apa maksudnya makhluk di seberang sana, Kaif benar-benar keheranan.

Sekali lagi, Kaif menegur, “Anang!”

“Ka─Kaif,” sebut seorang perempuan dari seberang telepon membuat Kaif terdiam sesaat begitu mendengar suaranya.

“Siapa?” tanya Kaif masih berupaya mengenali sang pemilik suara.

“Kaif, i─ini Zara. Tolong Zara, Kaif ... .”

Hening.

Kaif tertegun di tempatnya, matanya tak lagi mengerjap seolah waktu berhenti berputar. Degup jantungnya terasa melambat seiring suara isakan perempuan yang mengaku dirinya Zara itu terdengar pilu di telinga.

Ragu akan apa yang didengar membuat Kaif berinisiatif untuk kembali bertanya, tetapi belum juga akan mengeluarkan suara panggilan seketika terputus begitu cepat.

“Halo!” Kaif kembali menyeru keras, meski tak ada respons apapun yang diterima.

Mendadak perasaan Kaif tak enak, pikirannya tiba-tiba kabur semrawutan dengan kebingungan tak berujung. Teringat perkataan perempuan yang masih hangat di telinga tadi, suaranya benar-benar meyakinkan bahwa dia memanglah Zara. Perempuan itu menangis dan meminta bantuannya, perempuan yang selama ini disangka Kaif telah tiada sejak beberapa bulan lalu, kini hadir kembali? Tetapi bagaimana bisa?

***

Pagi harinya sebuah mobil terparkir memasuki rumah, bersamaan setelah itu Fitri turun bersama Sulaiman disusul Ruhi yang sekarang berdiri di samping ibu mertuanya. Fitri melirik sekilas sembari mengusap pundak Ruhi dengan senyum tipis menyemangati.

Tepat setelah 4 hari kematian abahnya, Ruhi kembali memutuskan untuk pulang bersama Fitri, sementara ummanya berada di kota seberang memilih tinggal di sana dan akan datang menjenguk di masa mendatang itupun jika berkesempatan. Kepulangan kali ini masih dikatakan berat bagi Ruhi, di satu sisi dia tak tega meninggalkan ibu seorang diri, sedangkan di sisi lain Ruhi mesti melanjutkan pendidikannya di sini. Memang pilihan yang sedikit sulit, tetapi Ruhi berusaha mengambil keputusan bijak dalam menanggapi setiap persoalan, terlebih tak akan ada yang tahu bagaimana kehidupan kedepannya.

“Ruhi setelah ini langsung istirahat, ya. Biar badannya vit lagi,” tutur Fitri seraya menggiring Ruhi memasuki kamar.

“Bunda juga istirahat, karena selama di sana Bunda sering kerepotan, pasti bawaannya capek banget,” balas Ruhi.

“Iya, Nak. Sekarang istirahat, sambil-sambilan nungguin Kaif pulang,” ucapnya.“Eh, tapi setelah ini Ruhi nggak ada kuliah, kan?”

“Ada sih, Bun. Siang nanti jam 1,”

“Ruhi, kan, masih capek. Izin saja, ya? Biar bisa istirahat dengan benar!”

“Bunda, Ruhi nggak apa-apa. Jangan terlalu khawatir,” katanya. “Matkulnya cuma dua jam-an nggak lama. Setelah itu Ruhi pulang.”

“Bunda khawatir, Ru. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Nggak kamu kasihan sama badanmu sendiri?”

Perempuan bercadar itu tersenyum seraya menggenggam tangan mertuanya erat, dia meyakinkan. “Ruhi baik-baik saja.”

______________

Next, lagi? Mumpung dh ditimbun dr kemarin🤭

Ketika Hati Berkiblat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang