Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kanan seorang perempuan, membuat wajahnya tertoleh ke samping dengan ringisan yang terdengar. Dia tak lagi menangis, sudah jadi makanannya mendapat perlakuan demikian dari abang tirinya sendiri.
“Lancang kamu, ya?! Lancang kamu sekarang!” bentak lelaki itu yang tak lain Anang. Wajahnya merah padam menatap nyalang sosok di hadapan, bahkan tanpa rasa iba kembali melayangkan pukulan.
Si empu tersungkur hingga terbentur dinding ruangan menyebarkan rasa sakit di sekujur badan.
Dia tertawa getir. “Lagi, Nang? Sepuasmu saja. Kalau perlu gali makamku sekarang juga.”
Anang mengepalkan tangannya kuat, lalu mendekat dan memberinya peringatan, “Kamu dengar aku baik-baik. Kalau seandainya kamu berani melakukan hal yang sama kayak kemarin, aku jamin kamu nggak bakal bertahan lama di sini. Sama seperti bayimu waktu itu, kamu nggak mungkin lupa, kan?”
Tamparan mendarat sempurna di pipi Anang, diikuti ludahan si perempuan tepat mengenai bajunya.
“Manusia rendahan! Apa yang patut untuk dibanggakan dengan sikap kejimu itu? Laki-laki bejat!” serunya geram.
Anang yang tersulut emosi buatnya lagi-lagi mengangkat tangan menganiaya. Namun, urung begitu melihat perempuan itu menatap tajam tanpa ketakutan di matanya. Disusul dering telepon di nakas mengalihkan perhatian Anang membuantnya bangkit dan menjauh.
“Nggak usah banyak basa-basi, ketemu di mana?” Suara bariton laki-laki itu menggelegar di ruangan. Langkahnya kemudian terbawa keluar bersamaan diputuskannya panggilan, meninggalkan perempuan yang habis dianiayanya seorang diri.
Dia Zara, perempuan ini kembali melamun menatap rawang secarik cahaya di balik pintu. Melambung harap akan segera terbebas dari penjara memuakkan ini, meskipun kecil kemungkinan bisa bebas. Zara sudah berbulan-bulan dikurung di rumah rasa neraka ini, rumah yang menjadi saksi bisu akan kehilangan beruntun yang dialami. Keluarga, teman, bahkan bayi yang sempat bersarang di kandungannya lenyap seketika dalam genggaman lelaki terkutuk yang sesal dianggapnya abang sendiri.
***
Beberapa kresek besar belanjaan diletakkan Kaif di atas meja dapur, tangannya terasa pegal membawa barang sebanyak itu. Pagi ini mereka sempat ke supermarket terdekat, membeli persediaan bahan masak dan rumah untuk beberapa pekan yang akan datang.
“Total semuanya 2,3 juta. Apa nggak kebanyakan, ya?” ujar Ruhi memandang beberapa barang yang dibelinya.
“Kebutuhan rumah juga, Ru. Apanya yang kebanyakan?” sahut Kaif.
“Aku ngerasa nggak enak saja beli barang sebanyak ini. Apa nggak boros banget?” monolognya terduduk di kursi.
Kaif yang melihatnya tersenyum tipis, dia mendekat seraya berkata, “Semua ini aku yang tanggung. Nggak perlu khawatir.”
Ruhi mendongakkan kepalanya lalu mengangguk pelan.
“Ya sudah, yuk beresin semuanya biar cepat kelar!” ajak Kaif diangguki sang empu.
Mereka mulai membongkar barang-barang tersebut, menata dan menempatkannya satu persatu. Terlihat Ruhi begitu fokus dengan aktivitasnya bahkan begitu telaten melakukan pekerjaannya, di saat-saat itu Kaif mengambil kesempatan memotret dengan gawainya, mengabadikan momen di rumah baru bersama sang istri.
“Ru, noleh sini!” pinta Kaif terus mengarahkan kameranya pada Ruhi.
“Ya Allah, Kaf. Nggak usah direkam!”
“Sekali-sekali. Ayo say hai!”
“Nggak mau, Kaf. Hapus ih!” titahnya teralihkan dari aktivitasnya.
“Bentaran doang, Ru.”
Kaif masih tak mau mendengarkannya juga, mengharuskan Ruhi bangkit untuk mengurus ketengilan suaminya itu, tetapi na'asnya musibah menyapa. Ruhi tersandung gamisnya sendiri membuatnya hilang keseimbangan, hampir terjatuh seandainya bukan karena Kaif yang bergerak cepat menopang badannya.
“Hati-hati,” peringat Kaif menunjukkam sisi garang mukanya.
“Kamu sih! Ngeyel!” tukas Ruhi kembali berdiri tegak.
“Apa sih? Cuma divideoin. Nggak aku upload juga,” kata Kaif.
“Janji nggak kamu upload?”
“Janji, Sayangku!” pekik Kaif mencubit gemas kedua pipi istrinya. Sementara Ruhi terlihat jutek menanggapi, padahal aslinya malu-malu kambing.
“Lagipula siapa coba yang mau keindahan ini dibagi-bagi? Aku sih nggak rela banget,” lanjut Kaif.
“Ngegombal bisanya!” celetuk Ruhi memukulnya dengan setangkai daun seledri.
“Siapa coba yang gombal? Aku serius juga!” pungkas Kaif menatap ke arah Ruhi yang tampak menyibukkan diri menyusun beberapa perabot ke atas lemari.
“Kaf, nggak nyampe!” keluhnya berupaya menggapai lemari tersebut.
Kaif mendekat sembari berkata, “Masa gini saja nggak nyampe, Ru? Makanya tinggi itu ke atas bukan ke samping!” Mengambil alih kardus berisi itu dari tangan sang istri dan meletakannya di atas lemari.
Sedangkan Ruhi mendengkus kesal, menyesal juga dia meminta bantuan dan ujung-ujungnya diledek begini. Lain dengan Kaif, dia malah senang melihat reaksi Ruhi seperti itu, semakin dijaili semakin membuat gemas.
“Sudah nggak?” tanya Ruhi dengan nada ketusnya.
“Sudah,” jawab Kaif masih tak mau menepih.
Dirasa pekerjaannya selesai, Ruhi memilih beranjak dari sana, tetapi begitu berbalik dia malah terkejut dengan keberadaan Kaif didekatnya. Lelaki itu melempar tatapan yang entah, bergerak semakin dekat memangkas jarak di antara mereka. Sontak Ruhi terkesiap dibuatnya, apa yang ingin suaminya ini lakukan?
“Kaif,” sebut Ruhi gelagapan. Tangannya mengigil kedinginan memberi reaksi tak biasa begitu didekati.
Seolah tak mendengar teguran itu, Kaif semakin mendekat hingga Ruhi terperangkap dalam kukungannya. Dia mendekat, tetapi lagi-lagi Ruhi menahannya.
“Kaf, kamu kenapa?” tanya Ruhi waspada.
“Mabuk,” bisik Kaif di sebelah telinganya. Terasa sekali Ruhi terkejut mendengarnya.
“Mabuk kenapa?” tanya Ruhi masih dengan tatapan penuh kewaspadaan. Lagipula ada-ada saja suaminya ini tiba-tiba mabuk tanpa sebab.
Lelaki berkoko biru langit itu tak langsung menjawab, dia menjatuhkan kepalanya tepat di pundak istrinya, menghirup dalam wanginya seiring senyum jail terbit di ujung bibir.
“Kaif, kamu apa-apaan sih?” protes Ruhi memberontak kecil. Namun, suaminya tak peduli.
“Ru, diam!” titah Kaif. “Aku cuma mau bilang sesuatu, penting untuk kita berdua.”
Kaif terdengar serius, Ruhi pun dibuat tertarik mendengar apa yang akan suaminya itu sampaikan.
“Kamu mau dengar?” tanya Kaif masih di posisinya.
“A─apa?”
Sesaat diam, baru kemudian Kaif melanjutkan. “Mandi, Ru. Kamu bau acem!”
Pupil Ruhi membulat dalam waktu singkat, kemudian menyipit tajam menatap Kaif yang kini berdiri tegak menertawakannya.
______________
Gimana setelah baca part ini? Apa yang bakal terjadi selanjut?
Jejak dulu say🍩
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
SpiritüelKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...