Pintu minimarket tertarik dari dalam, memperlihatkan Kaif yang kini berjalan keluar sembari berkutat dengan gawainya mengetik pesan pada aplikasi hijau berlogo W dan dikirimnya untuk Azhar. Namun, tak ada respons untuk beberapa saat mengharuskan Kaif untuk menelepon.
“Assalamualaikum. Halo, Kaf!”
Tersambung juga. Gegas Kaif menarik langkahnya sedikit menjauh untuk membicarakan sesuatu dengan Azhar.
“Sudah lihat berita baru dari akun mahasiswa itu?” tanya Kaif pelan.
“Sudah, dan isinya lumayan bikin kaget,” jawab Azhar dari seberang telepon.
Kaif berdesis. “Kamu tahu siapa dalangnya?”
“Tahu, cuma seharusnya aku yang nanya. Ada masalah apalagi kamu sama dalangnya ini sampai namamu harum kembali dengan diungkitnya kasus Zara?” celetuk Azhar.
Kaif terdiam sejenak memikirkan sesuatu sampai celetukan Azhar kembali terdengar.
“Aku sudah bilang tadi. Kalau mau benar-benar aman di kampus, batasi dulu interaksimu sama Ruhi, demi kebaikannya loh.”
“Kenapa kamu ngomong gitu sih, Zhar? Seyakin itu kamu tentang Ruhi yang bakal diserang?”
“Kenapa enggak? Belajar dari studi kasus sebelumnya!” balas Azhar.
“Zhar!” tegur Kaif saat temannya kembali membahas persoalan itu.
“Aku nggak ada niat apapun ngungkit masalah itu, cuma tolong dijadikan bahan pertimbangan buat kamu. Beberapa hari terakhir nama kalian sering berseliweran di medsos, nggak jamin seterusnya bakal baik-baik saja,” kata Azhar menasihati.
Kaif memejam berat dengan helaan napas panjang, menggeram tertahan usai panggilan terputuskan sepihak. Sekarang tampak nyata kekhawatiran di wajahnya.
“Kaif!” Ruhi memangil dari seberang. Namun, sama sekali tak direspons sang empu, membuatnya beranjak untuk menyusul dari seberang minimarket.
“Kaf!” tegur Ruhi saat tiba di samping Kaif.
Berbalik, Kaif bertanya, “Ada apa? Sudah selesai?”
Bergilir Ruhi yang diam, menatap ke arah lain dengan raut yang sulit Kaif deskripsikan. Tetapi, jelasnya dia tahu istrinya belum membeli apapun dari dalam sana.
“Nggak jajan?” tanyanya.
“Nggak.”
Terdengar dari ketusnya menjawab, kali ini bisa tertebak si mbak istri masih merajuk. Entah karena persoalan apalagi ini, Kaif mengajaknya keluar malam untuk membuatnya lebih santai, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Si istri tak kunjung reda merajuknya.
“Terus, maunya apa Neng?” tanya Kaif lembut sedikit terpaksa lagi tertekan.
Sekali lagi, Ruhi terdiam. Dan untuk kesekian kali Kaif kebingungan dibuatnya, hingga diraihnya tangan sang empu, tetapi dia lebih dulu beranjak meninggalkan.
“Nai,” sebut Kaif lembut. Tangannya berhasil mencegah kepergian istrinya dan memaksa bertahan di hadapan, Kaif menatap lekat. “Ada apa?”
“Sudah mau larut, aku pingin pulang,” jawab Ruhi dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca tak mau menatap.
“Jawab dulu kenapa kayak gini?” tanya Kaif terheran.
“Nggak apa-apa,” balas Ruhi menggeleng.
“Yakin?” tanya Kaif memastikan dibalas anggukan oleh Ruhi. “Oke. Kalau gitu, ayo pulang!”
“Tunggu! Kamu nggak nanya dulu aku bilang mau pulang ke mana?” cegah Ruhi.
“Ke rumah tadi, rumah bunda. Rumah siapa lagi maksudmu?” jawabnya. “Kalau rumah sendiri, masih diusahakan.”
“Sebelum kamu bawa aku kembali ke rumah bunda, apa aku benar-benar sudah punya tempat untuk menjadikanmu rumah kedua setelah umma dan abahku?” singgungnya.
Kaif memutar badannya 90 derajat menghadap penuh pada sang istri, mendekat seraya membalas, “Kenapa enggak? Apa yang bikin kamu ragu tentang hal itu?”
“Kamu dan masa lalumu,” balas Ruhi tangkas membuat suaminya bergeming sesaat. “Apa sesulit itu terbuka denganku, Kaf?”
Kaif menyunggingkan seulas senyuman, entah apa maknanya senyuman itu. Bagi Ruhi melihat gelagatnya yang demikian cukup membuatnya yakin Kaif memang tak akan mau menceritakan apapun kepadanya. Bahkan dengan enteng suaminya itu menarik tangannya pergi tanpa sepatah kata apapun.
Sampai berboncengan di atas motor pun masih sama, Kaif enggan berbicara di sepanjang perjalanan akan pulang ke rumah. Sesekali dia turun di jarak 1 km dari rumah hanya untuk membeli sate lilit di tepi jalanan dan setelah itu melanjutkan perjalanan pulang. Benar-benar tak ada inisiatif untuk mengajaknya bicara.
“Ya ampun, Kaif. Mantu Bunda kamu ajakin ke mana? Kok, bisa keluyuran malam-malam gini sih?”
Suara Fitri terdengar keras menginterogasi sang putra begitu pulang di waktu seharusnya mereka istirahat.
“Nggak keluyuran, Bun. Cuma ngadem doang,” balas Kaif sembari menyenggol lengan istrinya meminta pembelaan. “Berguna dikit ey! Nggak ada kasihan-kasihannya sama suami.”
Ruhi meliriknya dengan mata menyipit sengit. Apa-apaan suaminya ini mau melibatkannya juga?
“No!” balas Ruhi dibalas desahan pelan dari sang empu.
“Tetap saja, ya, Kaf. Kamu itu bawa mantu Bunda keluar malam di atas jam 10 itu nggak boleh!”
“Santai saja, Bun. Lagipula Ruhinya nggak kenapa-kenapa, masih mending Kaif ajak ngadem di alun-alun bukan ke semak-semak,” tuturnya memelankan suara pada kalimatnya yang terakhir.
“Ngapain kamu bawa aku ke semak-semak?” Ruhi malah menyahut dengan tatapan polosnya. Tak ngeh.
“Nyari udang!” celetuk Kaif dengan senyum tertahan.
“Sudah, nggak usah bisik-bisik. Sekarang kalian istirahat!” sela bunda seraya menunjuk ke arah tangga.
Kaif mengangguk sekali, sementara Ruhi segera berpamit pergi.
“Mau sate, Bun? Kebetulan ketemu di jalanan tadi,” ujar Kaif menawarkan.
“Hem. Simpan saja di atas meja. Kamu susul istrimu sana!” balas bunda masih memasang wajah sok galak nan datar, padahal dalam hati sudah pasti kesemsem pingin icip. Kaif jadi tersipu malu melihatnya seperti itu.
“Nih, Bun!” Kaif kembali menghadap dengan segelas air, menimbulkan kerutan di kening bundanya.
“Bunda nggak haus,”
“Bukan buat bunda, buat Ruhi,” jawab Kaif, sementara alis bunda menukik satu. “Bacain ayat kursi, biar berkahnya dapat.”
“Kamu mau ngerukiah mantu bunda?” celetuk Fitri dengan cepat menyimpulkan.
“Tepatnya pelet syar'i. Biar langgeng dunia akhirat!” balas Kaif berujung dapat geplakan di lengannya.
“Nggak ada pelet-peletan syar'i. Usaha sendiri!” sergah bunda.
Kaif terkikik menanggapinya.
_____________
Note; kalau ada yang kurang jelas dari alurnya, silakan koment. Dan kalau semisal ada yang ingin didiskusikan seputar agama, boleh yuk, dm saya. Siapa tahu nanti kita bisa nyambung diskusi bareng:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
SpiritüelKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...