14. Alasan Pasti

1.9K 166 5
                                    

Malam harinya setelah melaksanakan salat Isya' berjama'ah di masjid, Kaif pun kembali pulang ke rumah, kali ini Azhar ikut diajaknya bermalam di sana berhubung besok Jum'at-Sabtu kelas ditiadakan. Sengaja Kaif mengajak sang teman pulang ke rumah semata untuk menghiburnya atas masalah yang sedang dia hadapi.

Pulang-pulang, Azhar pun disambut baik oleh Fitri dan disuruhnya untuk makan malam terlebih dahulu. Lain halnya dengan Kaif yang mesti kenyang makan omelan bunda dikarenakan lebam dan memar di beberapa bagian badannya akibat pertengkarannya dengan Anang di kampus tadi.

"Sudah Bunda bilangin berapa kali sih? Jangan suka berusan dengan orang-orang seperti itu!" omel Fitri seraya menekan lebam di pipi sang putra menggunakan kompresan air hangat.

Kaif meringis, "Pelanan, Bunda."

"Jangan gerak!" celetuk Fitri.

Kaif menghela napas berat seraya berkata, "Ya Allah, Bun. Tega banget sama anak sendiri."

"Kamu nakal! Anak orang sampai kamu buat babak belur, kalau kamu yang babak belur sih, Bunda nggak peduli!" aku Fitri tentu saja berlawanan dengan apa yang dia lakukan.

Kaif tersenyum dibuatnya. Begini ya, perempuan. Lain di mulut lain di hati lain pula yang dilakukan.

"Sudah, Bun. Kaif nggak sepenuhnya salah. Kaif ngelakuin itu karena dianya saja yang suka bikin jengkel, masa ketika Ruhi dibully sama dia Kaif tinggal diam?" pungkas Kaif kemudian membuat bundanya berhenti sesaat.

"Apa? Dia bully Ruhi?" tanyanya tercengang.

"Iya. Makanya wajar, kan, kalau Kaif marah?"

Terdiam sejenak, Fitri kembali melanjutkan, "Wajar, dia memang istrimu yang pantas dapat pembelaan, bukan seperti perempuan waktu itu yang hanya menjebakmu saja."

"Bun, kenapa dibahas lagi?"

"Benar, kan, Kaf? Perempuan itu hanya mempergunakan sisi kebaikanmu lalu setelah itu menjebakmu, seharusnya kamu lebih pandai memilah memilih siapa yang seharusnya ditolong,"

"Itu sudah berlalu, Bunda. Lagipula Kaf cuma melakukan apa yang seharusnya dilakukan, nggak usah diungkit-ungkit lagi," ucapnya dengan suara rendah.

"Tetap saja, Kaif. Bunda pinginnya kamu fokus pada apa yang menjadi tanggungjawabmu saja lalu trauma keluarga kita hilang," pertekan Fitri.

"Loh, maksud Bunda?" tanya Kaif merasa heran dengan pengakuan bundanya barusan.

Lantas, Fitri terdiam tak menjawab.

"Jangan bilang pernikahan ini terlaksana karena─" Kaif menggantung ucapannya di ujung lidah, tak yakin jika tebakannya itu benar.

"Demi kebaikanmu, Kaf. Itu sudah jadi alasan pasti! Nggak salah, kan, kami menginginkan kamu terlepas dari masalalumu yang kelam itu?" timpal Fitri dengan cepat kemudian bangkit dari tempatnya meninggalkan Kaif seorang diri di sana.

Kaif benar-benar bungkam oleh bundanya, kadang menerka-nerka maksud dibalik semua ini terjadi.

Masalalu yang kelam? Bagaimana bisa bunda berpikir ingin menghilangkannya dengan cara pernikahan sementara kejadian itu berbekas dalam benak?

Tidak mudah bagi Kaif menyingkirkan memorinya, apalagi teringat bagaimana celaan, tuduhan dan makian saat itu masih terngiang dalam kepala membuat sesak dalam dada, hingga tanpa sadar Kaif meneteskan air mata.

Lelaki itu mendesah frustrasi dengan mata terpejam berat, sesekali bergumam, "Aku bukan pembunuh."

***

Entah sudah berapa lama Kaif terpejam, matanya masih enggan untuk terbuka setelah Subuh dilaksanakan. Badannya terasa kaku dan pegal sampai bangun saja rasanya susah, hingga secarik cahaya yang menyorot wajahnya pun tak berarti apa.

Meski terganggu dengan silau matahari yang menelusuk dari jendela kamar masih tak membuat Kaif mau bergerak dari baringan, membuat perempuan di sudut ruangan itu mengembungkan pipinya cemberut. Dia Ruhi.

Sudah pagi, matahari pun mulai naik dua jengkal di atas kepala tetapi manusia yang menjabat sebagai suaminya itu tak kunjung bangun juga. Padahal, Ruhi sudah berlelah-lelah datang dari tempatnya hanya untuk kemari tetapi kedatangannya malah mendapat sambutan seperti ini dari si suami.

Kesal diacuhkan, membuat Ruhi akhirnya beranjak dari tempat berjalan menuju tempat tidur. Tangannya tergerak untuk membangunkan Kaif, tetapi berhenti begitu mendapati raut wajah suaminya yang menyiratkan kegelisahan dalam kondisi mata terpejam.

"Berhenti menyudutkanku, Nang," ucapnya lirih, tak sadarkan diri.

Mendadak Ruhi tak tegaan melihatnya, apalagi suaminya itu sampai mengigau. Sudah pasti dipikirnya Kaif merasa diberatkan karena masalah dirinya dan Anang. Karena iba, Ruhi memberanikan diri menyentuh Kaif guna menyeka buliran keringat dingin di keningnya.

Ruhi mengusap pelan. Tetapi, reaksi lelaki itu malah membuat Ruhi terbelalak begitu tangannya ditarik Kaif. Takut sang suami terbangunn dari tidur seketika membuat Ruhi panik.

Namun, siapa sangka pada detik berikutnya Ruhi dibuat lebih tercengang saat mendengar perkataan Kaif.

"Aku mencintai Zara. Mana mungkin melukainya?" akunya.

Sementara itu Ruhi terdiam, membiarkan tangannya dengan sendirinya terlepas dari genggaman Kaif. Sampai berbalik badan membelakangi Kaif seraya menggenggam tangannya dengan rasa nyeri yang mulai menjalar di dalam dada begitu dia mengetahui fakta yang cukup menyesakkan.

Kaif─suaminya mengaku mencintai perempuan lain? Lalu pernikahan mereka?

Ketika Hati Berkiblat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang