Jennie duduk dengan gelisah menunggu Alva pulang pemotretan. Sudah seminggu setelah dia dirawat di rumah sakit dan diizinkan pulang. Meskipun mendapat izin pulang, tetapi semua orang tidak mengizinkannya kembali bekerja. Sungguh membosankan dan menyia-nyiakan hari dengan tidak produktif. Padahal dia punya banyak ide untuk menulis buku dongeng anak.
Seorang putri cantik yang bertemu dengan pangeran tampan dan menawan. Bukankah itu cerita klasik yang sampai sekarang masih menjadi angan-angan semua orang. Jujur saja, dia ingin menjadi seorang putri yang mengenakan gaun indah tapi kebebasannya tak mau direnggut. Tak ingin menaati aturan yang membosankan, tak ingin dikurung dan tak ingin dikawal dengan puluhan pengawal. Banyak mau memang.
Suara mobil Naya berhenti di depan rumah. Jennie langsung berlari tanpa alas kaki. Begitu keluar dia melihat Alva yang berlari kearahnya dengan khawatir. Alva membawa Jennie dalam gendongannya karena perempuan itu tidak memakai alas kaki. Alva khawatir jika kakinya nanti akan terluka.
"Kenapa ngga pakai alas kaki, Jen?" tanya Alva dengan khawatir sembari tangannya mengelus rambut panjang Jennie yang terurai.
Jennie memperlihatkan giginya yang rapi. "Kangen." ucapnya begitu singkat namun mampu membuat Alva jungkir balik.
Tapi tentunya hal itu tidak akan dilakukan karena dia sedang menggendong Jennie dan juga malu tentunya. Alva hanya memeluk Jennie dan membuat perempuan itu tertawa dengan renyah. Berjalan masuk ke dalam rumah dengan pelan kemudian menurunkan Jennie di sofa barulah Alva dapat merenggangkan badannya yang kaku. Rasanya hari ini sangat melelahkan karna tidak bersama Jennie. Alva memeluk Jennie dan menenggelamkan wajahnya dalam ceruk leher Jennie sembari merasakan nyaman rambutnya di elus dengan lembut. Rasanya Alva ingin memberhentikan waktu selamanya asal bisa seperti ini.
Naya datang dengan membawa paper bag dengan logo yang tidak asing bagi Jennie. Dengan senyum yang mengembang sempurna Jennie menerima kue yang telah dikeluarkan Naya dari paper bag. Alva sudah tidak memeluk Jennie namun masih menempel enggan untuk berjauhan sama sekali. Jennie tak perduli lagi dan menikmati kue yang di bawa oleh Naya setelah mengucapkan terima kasih. Naya ikut duduk di sofa dan mengeluarkan undangan dari dalam tasnya.
"Ada undangan pesta topeng dua minggu lagi." Naya menaruh undangannya di atas meja sedangkan Jennie dan Alva menatap dengan penasaran.
"Undangannya buat Jennie tapi bisa bawa patner si. Jadi kalo lo mau dateng mending bawa Alva biar bisa jagain lo."
Alva mengambil undangan yang ada di atas meja dan menunjukannya pada Jennie lebih dekat lagi. Jennie mengangguk paham sembari menghabiskan kuenya yang tinggal sedikit. Mulutnya dipenuhi dengan cream bercampur dengan selai strawberry membuatnya tampak seperti anak kecil. Alva yang tidak tahan langsung mendekatkan wajahnya dan menjilat ujung bibir Jennie yang terdapat creamnya. Jennie yang kaget dan tidak sempat menghindar hanya terpaku dengan mata yang terbuka lebar dan wajah memerah. Sedangkan Alva tersenyum puas melihat tidak ada lagi cream di wajah Jennie.
"Ekhem, yang disini dianggep nyamuk apa angin lalu gitu?" tanya Naya dengan kesal melihat kemesraan tiada akhir dari dua orang ini.
Salah tingkah, malu, bingung dirasakan oleh Jennie karena ulah Alva yang tiba-tiba hingga membuat dadanya berdebar kencang. Sialan, begitulah umpat Jennie dalam hati merutuki ulah Alva yang tiba-tiba nyosor itu. Alva sendiri tak ambil pusing dan malah merasa senang karna rasa creamnya enak dan manis. Mungkin lebih manis lagi jika Alva menjilat tempat lainnya. Seperti bibir merah Jennie mungkin.
"Nantilah gue pikir lagi mau dateng apa engga." akhirnya Jennie membuka suaranya setelah kuanya habis dan menormalkan detak jantungnya yang tadi sempat menggila.
___________
Naya menyandarkan punggungnya di kursi rooftop rumah Jennie. Badannya rasanya lelah dan pikirannya pun tak mau diajak bekerja sama untuk berhenti memikirkan masalah tidak penting. Sekali lagi Naya menghembuskan nafasnya lelah dan lagi. Dia teringat keinginan mamanya untuk menggendong cucu. Apakah dia sudah sangat tua sehingga mamanya ingin dia cepat menikah? Yaa memang si sudah matang tapi Naya bahkan tidak punya pacar apa lagi tunangan. Ini lebih gila dari pada menghadapi clien yang keras kepala.
Suara pintu terbuka dan Naya reflek untuk menolehkan kepalanya. Derrel berjalan dengan membawa dua botol soda dan satu bungkus ciki. Entahlah, Naya baru menyadari Derrel datang padahal dia tidak melihat mobilnya masuk. Tanpa dimintapun Derrel langsung duduk disamping Naya dan membukakan kaleng soda untuk Naya. Naya mengangguk, mengucapkan terima kasih dan langsung meminumnya.
Menatap senja yang berada diujung sana ditemani oleh teman bukan menjadi bagian rencana Naya sebenarnya. Tapi apa boleh buat, setidaknya dia tidak akan sendirian untuk kali ini.
"Mikirin apa?" tanya Derrel sembari melihat burung yang pulang ke sarangnya.
Naya menggeleng, "Ngga ada, kenapa nanya gitu?"
Derrel mengalihkan pandangannya menatap Naya. "Keliatan banget dari muka lo yang kaya banyak tekanan."
Naya tertawa renya sekali. "Sejak kapan lo jadi peduli sama raut wajah orang? Aneh banget."
"Sejak gue suka sama lo mungkin." ungkap Derrel tanpa beban sembari menatap wajah ayu Naya yang kini kaget.
"Apaansi lo. Gak lucu." Naya tiba-tiba menjadi salting dan enggan menatap Derrel lagi dan memilih untuk melihat ke arah lain.
"Nay, jadi pacar gue ya." kalimat itu bukan kalimat tanya. Kalimat itu seolah permintaan yang membuat Naya menatap Derrel kembali.
"Lo apaan si tiba-tiba banget? Dateng-dateng bilang suka."
"Ga tiba-tiba si, Nay tapi ya mungkin lo ga sadar aja."
Naya menggeleng. "Kenapa?"
"Apanya yang kenapa, Nay?"
"Kenapa lo suka gue? Bukannya lo suka Jennie? Mau lo jadiin pelampiasan ya gue?" tuduh Naya menatap mata Derrel.
Derrel tersenyum lantas menggeleng. "Gue beneran sayang sama lo. Ga tau kapan pastinya, tapi gue ga bisa nahan lebih dari hari ini."
Naya diam mentap Derrel yang kini juga menatap Naya. Tidak ada kebohongan disana tapi kenapa tiba-tiba.
"Gue juga suka sama lo dari lama tapi, anjir gue takut jadi pelampiasan lo." batin Naya sembari menggit bibir bawahnya. Ingin rasanya dia mengatakan semua yang ada di otaknya tapi sayang bibirnya terkunci dengan kuat.
Derrel mengelus bibir Naya. "Jangan digigit Nay, nanti berdarah."
"Jadi pacarku ya, Nay." kali ini entah kenapa kepala Naya mengagguk sebagai jawaban dari permintaan Derrel. Laki-laki itu tersenyum dan membawa Naya dalam pelukan hangatnya. mencium pilipis Naya dengan begitu lembut.
Derrel melepaskan pelukannya dan mengamati wajah Naya dengan penuh senyuman. Kemudian dia mendekatkan wajahnya untuk menautkan bibir mereka. Awalnya hanya kecupan ringan tapi lama kelamaan menjadi lumatan dan belaian lembut di rambut Naya.

KAMU SEDANG MEMBACA
but it's you
FanfictionCastil tua ditengah hutan yang ditemukan Jennie membuat segalanya berubah. Berawal dari liburan yang ia rencanakan secara mendadak tapi berakhir sangat menyebalkan. Entah dari mana datangnya laki laki tampan yang terus menempelinya bahkan pergi ke k...