:17: bahasan dewasa

846 136 12
                                    

"JENNN!" teriakan Naya terdengar begitu nyaring setelah memasuki kamar milik Jennie yang begitu berantakan. Tapi bukan itu saja yang menjadi alasan Naya berteriak histeris, melihat Jennie dan Alva yang tidur seranjang dengan pakaian berantakan membuat Naya tidak bisa berfikir positif.

Jennie dan Alva terbangun dengan rasa kaget menatap Naya yang berdiri di depan pintu. Menatap satu sama lain, Jennie sontak menjerit histeris. "ALLLL!"

"iyaa, Jen."

"Semalem..."

"Kan Jen yang minta."

"Okey, Jen tenang. Kamu dalam masalah besar sekarang."

"Jenn."

---

Jennie dan Alva duduk tidak tenang tanpa mau menatap Naya yang kini duduk di depan mereka. Sebisa mungkin mata mereka tidak menatap mata Naya yang kini sedang menuntut penjelasan.

"Jen, Al jadi kalian?" tanya Naya.

Jennie menghela nafas merasa tidak bisa lagi menghindar. "Ya gitu, seperti yang kamu liat."

Naya melotot dengan rasa tak percaya. Jennienya yang polos telah ternodai.

"Maaf, yang semalem Al ngga bisa ngontrol. Harusnya Al ngga nurut. Al udah nyakitin Jen, yaa?" ucap Al tertunduk tak berani menatap Jennie dan Naya.

Mengingat kembali jeritan kesakitan Jennie membuat Alva merasa bersalah. Meskipun setelahnya hanya ada suara kenikmatan diantara mereka berdua memenuhi kamar. Bahkan mereka masih sempat mengulanginya hingga dua kali lagi.

"Aku pusing." Naya memijit pelipisnya.

Jennie menyandarkan punggungnya di sofa menatap langit langit ruang tamu. "Ini udah terlalu jauh dan sexs before marriage bukan kamu banget Jen. Gimana kalo ada kehidupan lain di perut kamu?"

"Al akan menikah sama Jen kalau gitu." ujar Alva sangat yakin.

Jennie menepuk paha Alva. "Jangan sembarang ngomong."

"Tapikan Al serius Jen. Semalem Al keluar di dalem tiga kali." Ucap Alva dengan wajah polos dan serius tanpa perduli jika wajah Jennie telah memerah malu.

"Alll." Jennie meremas lengan Alva sebal.

"Kenapa Jen, kan semalem kamu yang mau lagi." ringisan Alva terdengar kala Jennie meremas lengannya begitu kuat.

Naya yang mendengar obrolan dewasa ini sungguh sangat malu dan tak habis pikir. Bagaimana bisa Alva mengatakannya dengan wajah yang begitu polos tanpa ada beban sama sekali.

"Terserah kalianlah, capek banget pengen beli mobil." Naya langsung pergi meninggalkan Jennie dan Alva yang masih kesakitan.

"Al juga capek Jen, pengen beli Celvin Klein. Semalem punya Al dilempar Jen ngga tau kemana." pinta Alva yang membuat Jennie tersedak air ludahnya sendiri.

"Yaa beli sendirilah, kamukan udah punya uang."

Alva menggeleng kuat, "Maunya dibeliin Jen kayak biasanya yang warna hitam."

Jennie lantas mencubit kembali lengan Alva karena kesal hingga membuat Alva meringis kesakitan.

Kemudian Jennie menatap Alva dengan begitu serius. Mengamati setiap detail dari wajahnya yang terbentuk dengan sempurna. Matanya yang indah, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah merona serta bentuk wajahnya yang maskulin. Sangat tampan nan rupawan.

Tubuhnya pun juga tinggi tegap. Pemikat alami perempuan yang begitu kuat.

"Ngga apa deh, dari bibit unggul. Ngga akan rugi juga kalo pembuat bibitnya ganteng gini." Ujar Jennie membuat Alva bingung.

Alva menarik lengan Jennie untuk duduk dekat dengannya. Tangannya mengelus perust Jennie yang masih rata. "Kenapa sih Al?"

"Suatu saat akan ada Alva junior disini."

---

Naya ditamani Revano pergi memilih mobil baru setelah dua bulan lalu ia tak sengaja menabrak pembatas jalan karena mabuk dan harus menggunakan mobil Jennie sembari mengumpulkan uang. Rasa rasanya ia menyesal karena sampai teler dan memilih pulang menyetir sendiri padahal telah ditawari tumpangan oleh Revano.

Naya merasa begitu tertarik dengan mobil hitam yang sama persis seperti milik dengan Derrel. Entahlah mobil ini seperti memang tipenya.

"Alva baik baik ajakan?" tanya Revano tiba tiba ketika Naya masih mengecek mobil yang ingin dibelinya.

"Maksudnya?"

Revano masuk dan duduk di dalam mobil. "Semalem kebanyakan minum." jawab Revano singkat.

"Tanya sendiri sama Jen ajalah. Pusing juga mau jelasinnya." Sembari memberi isyarat diam pada Revano karena mamanya menelpon.

"Hallo ma." bales sapa Naya mendengar sapaan dari mamanya.

"Clarissa Minggu depan udah nikah loh. Sama dokter Rumah Sakit biasa mama cek kesehatan. Orangnya kelihatan baik, pekerjaan mapan juga. Terus-"

"Terus Naya kapankan, ma?" potong Naya yang sudah jengah mendengar pertanyaan mamanya.

"Nah itu kamu udah tau. Mama mau juga gendong cucu dari kamu loh, Nay."

"Nanti yah, ma. Naya ada rapat nanti Naya telpon lagi. See you ma."

Naya mematika sambungan telpon dengan sepihak membuat Revano terkekeh. Naya menoleh menatap Revano dengan sebal. "Apa?" tanya Naya sewot.

"Nikahlah Nay, mama lo nanyain mulu."

"Sama siapa? Calon aja ngga ada." ujar Naya begitu tak berminat.

"Masa sih?" tanya Revano diangguki Naya dengan begitu mantap.

Terakhir kali Naya menjalin cinta sekitar empat tahun yang lalu dan kandas dengan sangat menyakitkan. Sampai saat ini masih belum bisa Naya membuka hatinya untuk orang lain. Bukan karena masih belum lepas dari masa lalunya. Bukan. Tapi karena untuk jatuh cinta lagi rasanya sulit karena itu Naya masih sediri meskipun ada banyak yang menawarkan kepastian dan kesetiaan.

"Sama gue aja." Tawar Revano serius semabri mendekatkan wajahnya tepat disamping wajah Naya.

Hanya tinggal sedikit lagi bibir Revano akan menyentuh pipi Naya.

"Lo buaya, Van."

but it's youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang