: 32 : Sampai disini

63 12 2
                                    


Musim penghujan sepertinya masing enggan untuk pergi dari masa yang seharusnya berganti dengan musim panas. Membuat banyak orang kini selalu membawa pelindung diri dari derasnya air yang jautuh dari langit. Udara pun semakin dingin membuat orang merapatkan jaketnya untuk menghangatkan tubuhnya. 

Dipemakaman yang berjajar dengan rapi, Alva menatap batu nisan dengan enggan. Selalu saja setiap kali dia datang untuk mendatangi kekasih hati yang telah pergi. Genap lima tahun dan dia masih belum bisa pergi untuk merelakan. Dia ingin kembali dalam peti mati saja untuk menanti waktunya kembali. Tapi sayangnya tak bisa lagi.

"Jennie Baratikda." gumam Alva dengan nada lesu. 

Tangan kirinya memegang payung sedangkan tangan kanannya membawa bunga berjongkok di samping nisan. Tak pernah absen sekalipun dari sore yang membebani hatinya. Dulu, dia selalu datang setiap hari, tapi kini dia sudah mulai terbiasa datang sebulan dua kali karena dukungan teman-temannya, teman Jennie lebih tepatnya. 

"Apa kabar? Akhir-akhir ini hujannya makin parah padahal udah masuk musim panas. Aku kesulitan buat cari celana dalemku karna kamu ngga bisa bantuin aku. Aku udah mulai nulis buku dongeng sama seperti yang selalu kamu lakuin. Tapi dalam kisah itu, kita berakhir bahagia." Alva menarik nafasanya kemudia membuangnya dengan perlahan supaya bisa mengurangi rasa sesak di hatinya.

"Di kisah itu, kita menikah Jen. Kita punya rumah dengan kebun yang luas dan punya dua anak seperti keinginan kamu." Alva mengelus nisan Jennie dengan lembut. Dia selalu datang untuk menceritakan bagaimana hari-hari yang dia lalui tanpa pujaan hati. 

"Aku juga mau. Aku mau nemenin kamu tapi bukan kayak gini."

Alva menundukan kepalanya dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Sedikit lagi, air mata itu pasti akan jatuh membasahi pipi yang kini ditumbuhi rambut halus.

"Sampai disini, sampai saat ini. Aku bertahan sampai sekarang hanya karna aku ngga bisa ninggalin dunia ini. Aku berharap kamu bisa kembali dalam diri orang lain. Temani aku sampai akhir waktu. Aku lelah sendiri, Jen."

Benar, Alva akhirnya menangis dalam diam sembari menunduk tanpa berniat untuk mengangkat wajahnya. Dia tidak ingin orang lain melihat dirinya yang seperti ini. Dia tidak ingin.

Selama ini, semua orang hanya tau jika dia perlahan merelakan kekasihnya yang meninggal karena penusukan setelah pesta dansa berakhir. Tapi nyatanya, dia tidak pernah merelakan kekasihnya pergi. Dia selalu mencari semua kenangan yang bisa dia dapatkan dan disimpan. 

Rumah Jennie tidak ada yang berubah selama lima tahun terakhir meskipun banyak orang yang ingin menawar rumah sederhana itu. Tapi berkat teman-temannya, rumah itu akan tetap abadi menyimpan semua kenangan Jennie. bahkan kamarnya hanya bisa dimasukin sesekali saja untuk melampiaskan rasa rindu. Sangat menyedihkan!

Puas menangis, Alva kemudian berdiri memberikan senyuman terbaiknya setekah dia menghapus jejak air matanya. Dia harus pergi untuk photoshoot. Untuk buku dongeng yang selalu menjadi semangat Jennie.

"Aku pergi dulu, ya. Sampai jumpa lagi, sayang."

Alva meninggalkan pemakaman menggunakan kacamata hitam seperti yang biasnaya. Menaiki mobil hitam yang akan membawanya menuju tempat pemotretan dengan wajah sendu. Melihat pemandangan luar yang menampilkan aktivitas yang sibuk meski hujan kembali turun dengan deras.

Pannggilan masuk itu terlihat di layar membuat Alva menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan. Nama Revano tertera disana. 

"Halo, dimana?" tanya Revano tanpa basa-basi.

"Dari makam, ini mau kesana." jawab Alva mengambang.

"Cepetan kesini, gue udah ganti semua staf yang lo minta kemaren."

Alva muak tiap kali beberapa staf menjadikan dirinya perbincangan dengan topik tidak mengenakkan. Tidak masalah jika membicarakan karirnya, tapi tidak dengan kehidupan pribadinya. Apalagi membicarakan orang yang sudah meninggal dan itu kekasihnya.

Beberapa hari yang lalu, Alva bahkan sempat baku hantam dengan staf yang terang-terangan membicarakan Jennie dengan kata-kata tidak seronoh. Andai saja perempuan dapat ia ajak baku hantam, seluruh kantor hanya akan menjadi sasaran emosi Alva. Jadi Alva lebih memilih untuk meminta Revano mengganti staf. Terlebih dengan godaan genit itu.

"Makasih, gue udah di depan gedung."

Alva langsung mematikan telfonnya tanpa menunggu jawaban dari Revano yang pastinya akan mengomelinnya. Menunggu di depan pintu lift yang masih turun dari lantai 13, cukup lama untuk sampai di ground. Hingga tak sadar jika disebelahnya juga sudah ada staf yang mengantri bersamanya.

Begitu pintu terbuka, Alva langsung memasuki lift diikuti dengan beberapa staf yang memilih untuk berdiri di belakangnya. Alva hanya diam saja tanpa memperdulikan staf yang bergosip. Begitu pintu hampir tertutup, terdapat perempuan yang menerobos masuk ikut berdesakan dalam lift. 

"Maaf, saya juga mau ke lantai 12." ucap perempuan itu kemudian pintu tertutup.

Yah, setiap orang selalu punya kesibukan masing-masing. Alva tidak mepermasalahkan hal itu, tapi tidak dengan barang bawaan perempuan ini yang sangat banyak hingga membuatnya berdesakan. Alva tidak suka.

"Maaf." ucap perempuan itu pelan ketika tasnya tak sengaja menyenggol Alva.

Setelah ini, dia akan meminta Revano untuk membuat peraturan baru agar dia bisa nyaman menaiki lift ini. Perempuan menyebalkan!


================================================================================


HAIIII, terima kasih atas dukungannya selama inii!!! 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HAIIII, terima kasih atas dukungannya selama inii!!! 

kalau ada yang mau mampir di ceritaku yang lain yaa!

RASA: cinta yang belum usai

Selama hampir 25 tahun hidup, Binar belum pernah sekalipun pacaran meskipun beberapa kali dekat dengan seseorang namun hanya berujung hts. Bukan tanpa alasan, Binar sama sekali belum merasakan debaran yang selalu diceritakan temannya saat jatuh cinta. Debaran seperti banyak kupu-kupu yang keluar dari dada atau perut rasanya geli seperti kupu-kupu terbang dari sana. Binar juga merasa heran sendiri di umurnya yang sudah seperempat abad ini bahkan hilal jodohnya belum terlihat. Tidak masalah sebetulnya karena Binar menikmati masa lajangnya, namun tetangganya sepertinya jauh lebih sibuk untuk mengkhawatirkan Binar. Tinggal di desa tentunya membuat Binar seolah dikejar umurnya sendiri untuk segara menemukan tambatan hati. Dikira gampang apa nemu yang pas, biar saja Binar dikatakan pemilih toh kalo asal pilih seumur hidup itu terlalu lama dengan orang salah.

Tapi pada suatu hari diacara reuni SMA, Binar bertemu lagi dengannya. sudah hampir delapan tahun tidak pernah bertemu meskipun rumah mereka hanya terpisah desa. Sulit sekali mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengannya hingga akhinya Binar menyerah. Setelah reuni SMA itu, Binar tau kenapa dia masih belum menemukan pacar yang tepat, karna yang di mau hanyalah dia. Dia yang dikenalnya saat masih sekolah dasar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

but it's youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang