Bab 4

628 57 6
                                    

Sudah berdiri setengah jam lamanya, sekarang sudah nyaris jam 10 malam, Thea masih berdiri dengan perasaan dongkol bukan main di halte depan kantor.

Kalau pulang di jam biasanya dia akan memilih naik Transjakarta. Ini sudah malam, Thea ingin naik yang cepat dan langsung mengantarkannya sampai ke rumah. Entah kenapa akunnya jadi kesulitan mendapatkan driver.

Dia mulai mengubah rencana. Oke, naik bus saja seperti biasanya lalu naek Ojol di depan komplek perumahannya. Tapi lihat di jam segini saja, di depan kantornya bus tidak ada yang lewat. Namanya juga disuruh lembur dadakan, kalau tahu dia akan membawa kendaraan sendiri. Dia berpikir, mungkin mobil peninggalan Papa yang di garasi sudah harus digunakan dibawa ke kantor juga, jangan cuma dibawa kalau dia lagi me time. Daripada ribet naik kendaraan umum yang tidak bisa diandalkan begini.

Mata Thea menangkap bayangan sebuah mobil abu-abu keluar dari gerbang Gedung Wisma 49, mobil itu berjalan pelan kemudian berhenti di depannya. Thea takut salah menebak, tetapi itu mobilnya si Lino.

Kaca jendela kiri mobil itu turun dan wajah Lino menyembul di sana. “Kamu belum pulang? Udah malem banget,” ucapnya dengan nada prihatin.

Thea sampai bergidik. Apa-apaan nih, Lino sudah menjalankan misi berakting manis atau memang cemas karena melihat cewek sendirian di depan jalanan mulai sepi.

“Belom dapet ojek, Mas,” jawab Thea.

“Mau ikut nggak? Aku anterin sampe rumah bisa,” ucap Lino menawarkan dengan langsung.

Suaranya yang berat jelas terdengar sampai ke telinga Thea dan menimbulkan sensasi merinding. Bahkan ini lebih bikin takut dibanding takut ketemu setan. Tapi Thea tidak mau gengsi apalagi malam akan semakin larut dan semakin sepi. Makin susah pulang.

“Boleh, Mas? Aku udah setengah jam lebih di sini,” kata Thea ikutan bernada manis. Meski dalam hati langsung bergidik.

Dia kan tahu banget kelakuan asli Lino, diajak bicara dengan nada lembut membuatnya ngeri dan geli. Tapi saat ini tidak ada pilihan yang lebih baik. Kadang harus bermuka dua untuk memanfaatkan orang lain. Jangan dulu gengsi, kalau bisa dimanfaatkan begini. Kalau siang hari mah Thea bakalan ogah menerima tawaran Lino.

Jujur saja Lino sangat mencurigakan, Thea mengenyahkan bayangan menuduh cowok itu yang buruk-buruk. Misalnya, Lino akan berbuat sesuatu. Thea tahu Lino tidak akan mungkin sejahat itu, bakalan kehilangan banyak kalau sampai berani berbuat sesuatu yang bejat.

Mungkin Lino memang baik dan kasihan melihat dirinya sendirian dalam kondisi menyeramkan begini. Cewek gitu loh. Teringat adiknya atau mamanya. Soalnya kata Aldric, Lino itu sayang banget sama keluarganya.

Atau Lino dalam hatinya lagi mengeluh, “Anjir, gue kan cuma basa-basi, kok malah diiyain?”

Thea berasa disambut karena Lino yang membukakan pintu mobilnya dari dalam, tentu dengan tangannya yang panjang karena posturnya dia memang tinggi. Lebih tinggi dari Aldric dan Nugi. Begitu masuk ke dalam, cowok itu juga memberikan senyuman tipis. Senyuman baik-baik yang biasanya diberikan ke orang lain.

Aneh banget rasanya melihat Lino bersikap baik dan manis, meski mereka memang jarang interaksi tapi Thea tahu bagaimana sikap jutek dan dinginnya Lino selama ini. Kalau berpapasan jarang menyapa duluan. Kalau lagi pergi bersama dengan Aldric dan Nugi, Thea jarang diajak ngobrol.

“Opr sering banget pulang malem dan lembur nih?” Lino memecahkan suasana yang kaku.

Thea tadi sempat curiga, bagaimana kalau Lino akan segera sadar dan enek, sepanjang perjalanan akan didiemin. Tapi, ternyata Lino bersikap seperti kepada orang lain, Thea tahu Lino itu aktif bicara.

Dua Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang