Bab 37

397 28 0
                                    

Dia mendengar gosip itu dari Wanda dan Vera yang menjadi teman satu tim-nya di General Affair. Bukan gosip lagi karena mungkin informasi itu juga akan dibenarkan oleh Aldric.  Thea tidak bertanya duluan meski ada banyak pertanyaan memenuhi otaknya.

Saat dari meja kubikelnya terlihat Aldric keluar dari ruangan kaca menuju ke arah pintu depan, Thea bergegas bangkit dari kursi beroda itu dan berusaha mengejar Aldric. High heels-nya beradu dengan lantai begitu keluar dari ruangan bekerja.

Thea mendapati Aldric berdiri menghadap ke tembok dengan ponsel menempel ke telinganya, di dekat kotak tabung oksigen kebakaran yang dipajang pada dinding dekat pintu darurat. Berkat suara sepatunya mungkin cowok itu menjadi terusik dan menoleh ke belakang.

“Iya, ntar ya. Oke. Iya.” Anehnya setelah itu Aldric berhenti nelepon.

Padahal Thea bisa saja dikira mau ke toilet, tapi cowok itu memang menutup telepon lalu menatap padanya.

“Udah denger infonya, kan?” tanya Aldric. “Apa lo ngikutin gue karena kepo?”

Thea mendelik. “Geer. Gue mau ke toilet.” Cewek itu membelokkan tubuhnya segera pergi ke lorong samping tempat toilet berada.

“Eh! Gue belom selesai ngomong. Kalo nanti kita bertiga jalan, mau nggak? Kayaknya Nugi pengen banget ketemu lo. Tapi, dia juga nggak pengen berduaan aja.”

Mata Thea melebar. “Ogah, suruh dia bilang sendiri kalo memang mau ngajak pergi perpisahan.”

“Tau aja lo kalo memang mau perpisahan. Lu beneran bakal mau nggak, tar gue bilangin. Kalo fifty-fifty jangan dah, katanya dia nggak siap akan penolakan.”

Wajah Thea jadi kesal dan menatap sinis ke Aldric. Cowok itu malah ketawa-ketawa kecil.

“Lo jadi kenapa sih?” Thea ngeri melihat Aldric yang reaksinya penuh makna begitu.

“Kalian lucu sih.”

Thea diam saja, merenung. Lucu apanya lagi!

Aldric mendesah sebal. Mendadak jadi masam. “Jadi gimana?”

“Ya tadi kan gue udah bilang, kalo mau ngajak ya bilang sendiri.” Thea menghela napas berasa sudah salah bicara atau salah nada padahal hanya bicara ke Aldric yang tentunya ke orang yang tidak bikin kesal apalagi ada masalah. Memang dia sulit mengontrol nada bicara kalau lagi mood-nya berantakan begini.

“Dih, jutek banget. Iya, iya, tapi awas aja lo kalo ujungnya nggak mau ikut! Soalnya gue juga ogah berduaan sama dia,” sahut Aldric.

“Biasanya juga berduaan udah kayak pasangan.”

Aldric melotot tidak suka. “Sembarangan aja. Dari dulu kita memang lengket, jadi nggak akan ada yang mikir begitu, kecuali lo yang sering nonton film BL ama Ge.”

Omong-omong Aldric dan Ge sudah agak membaik. Mereka kelihatan bertegur sapa kalau berpapasan.

“Kalo memang lengket kenapa nggak mau kalo akhirnya jadi pergi berduaan aja?”

“Karena bukan itu tujuannya. Gue sama dia bisa ketemu lagi kapan aja. Lah, elo. Dia menaruh harapan besar bisa jalan sama lo lagi.”

Thea merenung.

“Kantor yang barunya lebih bagus dan ngasih penawaran gede, makanya dia mau.”

Kepala Thea mengangguk tanpa sadar demi menghargai ocehan Aldric. Nugi pernah bercerita kalau dia tidak mau pindah kantor hanya karena demi menjauhi bayangan Karissa yang memang muncul di mana-mana. Sepertinya gaji besar itu menjadi minat besarnya untuk cabut.

“Kita perginya Sabtu sore. Hari terakhir dia kayaknya Senin.”

Thea menatap Aldric dengan wajah ragu-ragu. “Kenapa dia ngajak gue, Dric?” tanyanya heran.

Dua Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang