Bab 35

342 31 0
                                    

Kalau ingin jalan-jalan sekarang dengan Ge dan Aldric, yang juga lagi jomblo. Jalan bertiga terus sudah kayak Upin-Upin dan Kak Ros.

Sebenarnya dia dipaksa oleh dua lelaki itu untuk mau diajak pergi. Mood Thea sering naik-turun. Lebih semangat kalau main ke rumah Dawai atau Gita. Pergi bersama Ge dan Aldric malah menjadi baby sitter soalnya. Kalau di kantor keduanya bagai bersikap layaknya bodyguard.

Kalau sudah pergi ke mall dan ke arena permainan, keduanya akan memperbudak Thea untuk memegang tas dan menunggu mereka asyik bermain. Ge ama Aldric selera mainannya sama, main game Pump it. Sama-sama berisik dan bawel juga.

Thea sendiri juga galau dengan masa depannya. Jenuh dengan pekerjaan yang monoton. Dia tahu ada info buka lowongan bagian lain di divisi lain. Muak dengan teman se-ruangan yang tak bisa menjadi teman kerjanya, Thea mencoba peruntungan untuk ngisi posisi admin GA yang ditinggalkan resign. Menjadi anak buah Aldric memang bukan hal yang memalukan, berharap bisa bekerja sama dengan cowok itu. Aldric juga yang bujuk Thea dan sempat membuat Ge agak sebal karena teman dekatnya diambil.

Mendapat kesempatan buat pindah ke divisi lain yang beda lantai dengan divisi Nugi membuat kesempatan untuk menjauh jadi mudah. Jarang ketemu. Tapi, jadi satu lantai dan berdekatan dengan Aldric juga tidak mudah, cowok itu masih suka ceritain tentang Nugi.

Walau sudah beda lantai dengan Nugi, masih ada kalanya bertemu atau papasan. Seperti di lift. Di depan mesin absen. Tidak bisa terhindar kecuali cabut alias pindah kantor. Thea menganggap jika berpapasan adalah sebuah ke-apes-an. Sebab dia harus berakting tidak melihat orang itu dan mencari-cari sesuatu yang bisa membuatnya sibuk.

Berpapasan dengan Nugi di jam 8 malam begitu keluar dari pintu belakang yang menuju ke parkiran setelah lembur kerja adalah salah satu hal yang menambah kengerian. Sekelilingnya sudah tidak ada orang. Hanya ada beberapa buah mobil dan motor, yang semoga saja ada orang lain yang segera datang. Thea tidak ingin berbalik badan dan mengambil jalan memutar yang lain. Jalan yang lainnya sepi dan cukup gelap. Karena jalan dekat parkiran terang karena memang ada lampu-lampu parkiran.

Mereka bertemu pandang sesaat, mata tajam lelaki itu membuat ngeri. Seperti diawasi oleh penjahat dan segera disergap perasaan ketakutan, Thea mengalihkan pandangan menjadi melihat ke ponsel. Dia belum memesan ojek, ingin mengandalkan bus TJ malam ini.

Thea mengira Nugi hanya berdiri di bawah pohon itu hanya untuk menyesap vape. Saat langkah kakinya sudah tepat melewati depan Nugi.

Suara berat cowok itu menghentikan langkahnya. “Aku harus apa biar kamu maafin?” tanyanya dengan langkah maju sehingga menghapus jarak. Sudah berhenti menyesap vape dan disimpan ke saku celananya.

Thea mendadak kaku. “Kenapa sih, Nug? Bukannya udah aku kasih tau sejelasnya. Kamu kelewatan. Bisa-bisanya bahas ini lagi. Ngapain? Kamu mau mainin aku lebih lama lagi?”

“They, kasih satu kesempatan. Aku mintanya berlebihan ya?”

Thea tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tapi dia tidak tuli. Tidak salah mendengar.

“Buat temenan sama kamu lagi aja aku ngga mau. Tolong, jangan bersikap begini!” pinta Thea dengan suara mendesis.

“Aku monster ya? Maaf. Aku jadi begini. Aku udah beda ya nggak kayak dulu?”

“Urusan dan dendam gue udah selesai. Jangan drama, ngapain berurusan sama gue lagi? Dulu itu yang mana? Gue nggak pernah ngerasa kita ada momen yang mengesankan. Semuanya itu kepalsuan. Buatan lo dan juga gue!” Saking kesalnya nada dan pilihan katanya sudah tidak bisa disaring lagi.

Nugi terkejut sampai memajukan tubuh nyaris saja tubuhnya menubruk Thea. “Kepalsuan? Yang bener aja! Kebaikan aku nggak pernah bohongan!”

Walau emosi Nugi masih menggunakan kata ‘aku’. Melihat Nugi yang memohon begitu membuat Thea meneguk ludah dan tersadar.

Dua Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang