Bab 31

333 31 4
                                    

Saat sedang menunduk menatap halaman rumput depan rumahnya yang mulai basah dan mengeluarkan aroma tanah dan air berkat selang yang dia gunakan untuk menyiram tanaman, matanya melihat siluet seseorang melintas depan pagar rumahnya.

Saat melihat seseorang bertubuh tinggi muncul di depan pagar rumahnya, semakin terlihat jelas sosok pria dengan kepala berambut tipis, Thea jadi menghela napas lega. Tidak lega amat sesungguhnya karena dia belum tahu caranya untuk orang yang satu ini.

Leganya ternyata bukan Nugi yang dikiranya datang tanpa membawa suara kendaraan alias parkir di tempat lain. Ternyata Aldric yang muncul, cowok itu membawa sebuah plastik dengan isinya yang membentuk kotak karena tangannya memegang tepat di bawah menampilkan bentuk isi. Mengapa masih jam 4 sore sudah ada Aldric di rumahnya?

“Kok lo udah balik ngantor?” tanya Thea begitu Aldric masuk ke halaman rumahnya dan menyodorkan plastik berisi kue bolu keju terkenal. “Thank you!”

“Gue izin pulang cepet jam setengah dua tadi. Jemput Mama abis dari Stasiun Senen, dia abis jalan-jalan ke Surabaya. Gimana cuti lo? Gue kira lo liburan jauh, taunya cuma di rumah nyiram tanaman,” kata Aldric agak ngeledek karena senyum simpul.

Syukurlah tidak langsung ngajak ribut dengan basa-basi dahulu. Aldric bisa saja menyemprotnya seperti komentar di IG kemarin.

“Yeee, rumah juga mesti dibersihin. Nyiram tanaman dan nyium aroma wangi begini juga kayak healing. Adem.”

“Lo di rumah dari kemarin? Gue merasa nggak ada orang deh kemarin?” tanyanya seraya menoleh dan menatap rumah Thea dengan kening berlapis.

Thea masih menyiram tanaman dengan selang air untuk halaman yang agak jauh dan terpojok. Tapi dia tidak budek apalagi tidak paham kalau Aldric sedang mengorek informasi. “Gue kemarin pergi, baru balik siang ini.”

Tadi siang pulang dari rumah Dawai jam 12 lalu bersih-bersih rumah. Padahal tidak kotor amat. Cuma dia butuh kegiatan untuk menghabiskan waktu daripada isi kepala yang kosong kembali memerintahkan untuk merasakan sesak hatinya.

“Ke mana?” Mata-matanya Nugi satu ini memang tidak akan bersikap netral padahal dia adalah teman dekat dua orang ini. Atau saking netralnya jadi ingin tahu.

Thea berharap Aldric hanya sekadar tahu saja. Tapi, rasanya tidak mungkin Aldric bakal tidak ngadu ke Nugi.

“Ada deh pokoknya.”

“Seperti apa yang gue liat kemarin di post IG lo?” tanyanya dengan tatapan dalam dan sarat kekecewaan. “Kalo iya bener, gue nggak ngerti kenapa lo bisa begitu.”

Dia juga bingung mau bagaimana jelasin ke Aldric atas tingkah ngeselinnya yang gatel banget itu.

Thea diam saja. Dia ada rencana jauhnya kalau semua kacau, dia bakal resign dari kantor. Dia tidak enak sama Aldric, sudah dibantuin malah bikin masalah.

“Kok lo ternyata sikapnya begitu? Nugi lagi berusaha biar sembuh. Dia trauma dan lagi depresi. Dia nyariin lo kemarin dan nanyain gue terus seakan gue tau di mana keberadaan lo,” decak Aldric dengan muram.

Jemari Thea terkepal memegang tali ujung plastik. Langsung skak. Bingung.

“Dia juga udah bilang sesuatu. Permintaan lo.” Aldric terdiam sedangkan Thea melirik karena penasaran lanjutannya. “Kata gue, memang putus lebih baik untuk saat ini. Dia harus kelarin masalah traumanya dulu.” Sorot mata Aldric kali ini menampilkan tatapan penuh pengertian tapi juga kecewa yang sulit disembunyikan. Sesedih itu kah dua orang teman dekatnya yang semula dikira akan bahagia pacaran menjadi putus?

“Bukan permintaan gue. Dia yang nantangin, ya gue iyain aja. Status pacaran itu bakal jadi beban dan masalah lain buat dia. Memang lebih baik gue kembali jadi temannya aja. Pasti beban masalahnya akan sedikit berkurang.”

Dua Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang