45. Menjenguk

76 11 0
                                    

Di sisi lain Javas sudah mengantar Regina ke kamarnya dengan selamat. Begitu cekatan pria itu merawat kekasihnya, membuat bubur, menyiapkan obat, tak lupa sedia air putih.

"Entah bagaimana aku harus memarahimu." Javas menghela napas seraya menyodorkan segelas minum.

Regina dengan sungkan menerima air minum itu. "Maafkan aku."

"Memang salahmu apa, sayang?"

"Aku melanggar omonganmu dan tetap mandi hujan." jelas Regina penuh sesal.

Javas sedikit tersenyum. "Jadi, apa kamu akan melakukan hal itu lagi?"

Lekas-lekas Regina melambaikan kedua tangannya. "Tidak!"

"Oke." Javas mengelus lembut puncak kepala kekasihnya. "Obat yang tabib buat akan selesai tepat dengan kelulusanmu di akademi. Jaga kesehatanmu hingga saat itu, sayang."

Keesokan hari Regina izin sementara waktu tidak menghadiri kelas akademi sebab ingin fokus dengan kesembuhannya. Walau ia sudah merasa sehat, Javas terlalu protektif. Ini adalah hari ketiga Regina diam di rumah sejak insiden ia mandi hujan.

Nela dan yang lainnya memutuskan untuk menjenguk Regina hari ini, tentu berbekal alamat yang diberikan oleh kepala akademi begitu mudahnya. Nela, Sindy, dan Johanna bersiap pergi menggunakan kereta kuda keluarga Johanna. Namun saat mereka hampir naik, tiba-tiba Darren datang.

"Hei! Kalian akan menjenguk Regina?" tanya Darren sedikit membentak, mendekat dari kejauhan.

Sindy menghela napas kesal. "Apa yang kau inginkan?"

"Biarkan aku ikut dengan kalian."

Tentu saja Nela, Sindy, dan Johanna tak berniat memberikan izin. "Kembalilah, buaya darat." ketus mereka bersamaan.

"Tidak!" Darren masih keras kepala. "Aku hanya ingin menjenguk temanku. Apa kalian punya hak untuk menentang hal itu?'

"Huft, duduklah di samping sopir sana." ketus Johanna lalu memasuki kereta kuda lebih dulu.

Darren memang tak terima, tapi sedikit memalukan juga baginya duduk sebagai lelaki di antara tiga gadis dalam kereta. Jadi mau tak mau Darren duduk di samping sopir yang bersiap menjalankan kudanya. "Seorang putra pedagang kaya begitu diremehkan, huh." bisik lelaki itu kesal.

Alasan Darren bersikeras untuk ikut menjenguk Regina karena dia ingin memastikan siapa suami yang beruntung mendapatkan gadis secantik Regina. Darren juga akan memutuskan apakah suami Regina itu layak atau tidak dibanding dirinya.

Tak seperti yang dibayangkan, perjalanan dari akademi menuju rumah Regina ternyata dekat. Masih berada di sekitar pusat Ibu Kota, tak memakan waktu lama. Nela sempat berpikir jika rumah Regina berada di ujung kota tempat rakyat biasa tinggal. Pusat Ibu Kota biasanya hanya berisi rumah bangsawan, pedagang kaya, atau penginapan. Ya, memang jelas sekali jika Regina bukanlah rakyat biasa.

Kereta kuda mulai melambat saat sampai di depan Mansion besar, sangat besar. Seperti Mansion bangsawan Duke. Bahkan Johanna, putri bangsawan itu sendiri terpana melihat bangunan Mansion begitu megah di sini.

"Aku tak merasa pernah melihat Mansion sebesar ini sebelumnya?" tanya Sindy heran.

Jawaban dari pertanyaan Sindy langsung terjawab saat sopir di depan itu berujar. "Kita sudah sampai."

Kereta kuda berhenti tepat di depan gerbang raksasa. Entah ketiga gadis atau satu lelaki itupun akhirnya terpaksa turun dengan ekspresi yang tak berhenti terkejut. Kereta kuda berbalik pergi, meninggalkan mereka berempat terpaku di depan Mansion super mewah itu.

Mansion dengan empat lantai, dikelilingi taman yang terbentang luas, ukiran-ukiran megah yang tak pernah mereka lihat juga berhasil mencuri perhatian pandang.

"Jadi ini ... rumah Regina?"

Rakyat biasa apanya.

REGINA: Don't Want to DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang