Drrrkkk.
Gerbang raksasa itu tiba-tiba terbuka tanpa ada orang yang membukanya. Melihat itu Darren tersentak. "H-hei, kita pergi ke alamat yang benar, kan?"
"Ya," Nela mengintip catatan alamat dari kepala akademi. "Harusnya begitu."
"Ayo masuk saja, gerbang sudah terbuka." ucap Johanna berpura-pura berani dan memimpin jalan. Mereka berjalan mendekati pintu utama, melewati sambutan taman yang begitu indah serta megah. Lagi-lagi pintu utama terbuka dengan sendirinya. Mau tak maupun mereka berjalan masuk, berada di dalam aula utama Mansion yang mempesona mata.
Sesosok pria familiar dengan kain berantakan melilit tubuhnya itu tiba-tiba saja muncul dari salah satu pintu. Dengan tangan yang membawa semangkuk sup, Javas tersenyum. "Selamat datang, Regina ada di lantai tiga. Ikuti aku."
Nela dan yang lainnya sedikit lega sebab Javas berbicara santai, tak seperti pertemuan pertama mereka. Saat para gadis menaiki tangga mengikuti Javas, Sindy melihat Darren yang masih diam di tempat. "Darren, jangan melamun!"
Darren tersentak lantas lekas-lekas mengikuti langkah yang lain. Dalam hatinya memekik gugup. Sial, kehadiran macam apa yang begitu mengintimidasi hanya dengan satu manusia berpakaian berantakan? Sangat tampan pula!Darren mencium bau-bau kekalahan.
Langkah mereka pun terhenti di lantai tiga tepat di depan pintu kamar yang paling mencolok dari yang lainnya. Javas bergerak masuk tanpa repot-repot membuka, jelas, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Johanna melihat Regina yang terduduk manis di samping jendela. Tubuh kurusnya melindungi sebagian cela kamar dari sinar mentari, seperti bidadari, pucat putih, bayangan temaram terlukis di ubin yang dingin.
"Sudah kubilang istirahat saja di ranjangmu." Javas mendekat seraya meletakkan semangkuk sup. "Omong-omong, ada yang berkunjung."
Regina menoleh, terkejutlah ia melihat beberapa sosok familiar yang dikenalnya. Gadis itu memekik riang hingga tanpa sadar beranjak dari kursi. "Teman-teman!"
"Halo!" Nela melambai ramah. "Apa kamu sudah sehat?"
Mengangguk Regina meminta mereka semua duduk di kursi. "Ya, kemarilah. Buat dirimu nyaman."
Sindy meletakkan sekotak kue yang ia beli di sekitar akademi. "Kamu tahu, ini kue yang begitu populer akhir-akhir ini. Perlu hampir tiga jam mengantre demi sekotak kue. Nikmatilah!"
"Benarkah? Terima kasih!"
Javas turut duduk di samping Regina. Secara ajaib beberapa cangkir teh terhidang rapi di atas meja. Darren tersentak melihatnya. Lelaki itu mencuri pandang ke Javas yang merupakan suami Regina. Sihir ... sudah dipastikan jika suami Regina itu bukan orang biasa. Seorang yang bisa sihir pasti sangat diagungkan oleh Kekaisaran Francesca, sebab amat membantu dalam berbagai bidang hingga pengobatan. Jadi, mungkinkah Javas dan Regina ini sepasang pejabat yang menyamar sebagai rakyat biasa?
"Tak kusangka kalian datang menjenguk." Regina tersenyum sangat manis. "Aku baru tahu ... ada manusia yang masih menghargai kesehatanku."
"Tentu saja, bahkan aku sangat memikirkan kesehatanmu sampai tak bisa tidur!" tegas Darren yang sudah memutuskan untuk tetap memperkuat tekadnya. Entah siapalah identitas asli Regina dan suaminya, Darren hanya ingin menunjukkan tekad kuat sebagai seorang pria.
"Kamu begitu mengkhawatirkan Regina, ya." Javas meminum tehnya. "Sebagai seorang teman?"
Sungguh gila kehadiran penuh intimidasi suami Regina itu. Tekad pria Darren sedikit goyah. "Err ... mungkin?"
Mereka tidak tahu jika ada segudang dendam amarah yang Javas simpan di balik senyumannya. "Jika dipikir-pikir aku belum memperkenalkan diri dengan benar. Maukah kalian pergi ke taman? Akan aku perkenalkan diriku dengan baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
REGINA: Don't Want to Die
Fantasy[UPDATE 2 BAB SETIAP HARI] Regina pemilik rambut perak terkutuk dan harus hidup sebagai persembahan sang naga hitam, Javas. Belasan tahun ia dibesarkan dalam penjara, akhirnya Regina akan dibawa pada sang naga. Javas tersenyum merentangkan kedua le...