36. Rambut yang Indah

101 13 0
                                    

Usai perkenalan singkat di depan kelas itu, Regina diarahkan untuk duduk di bangku sebelah seorang gadis yang nampak seumuran dengan Regina. Lekas-lekas Regina duduk di samping gadis itu karena takut menganggu pelajaran.

Baru saja Regina meletakkan dirinya nyaman di atas kursi, gadis sebangkunya berbicara. Kamu benar-benar rakyat biasa?"

"Iya."

"Bohong! Bagaimana mungkin rakyat biasa bisa membuka gerbang akademi begitu saja? Mendaftar selama satu bulan? Itu tidak mungkin! Kamu pasti kerabat Kaisar, kan!" oceh tak percaya seorang gadis itu.

Regina tersenyum canggung. "Aku bukan bangsawan maupun kerabat Kaisar, Nela."

Nela, teman sebangku Regina yang cerewet itu masih tak percaya. "Baiklah, kuanggap kamu punya identitas rahasia. Kutebak pasti identitasmu berhubungan dengan keselamatan satu Kekaisaran, huh? Sangat fantasi! Aku memang suka berimajinasi, jadi maaf jika itu aneh, Regina."

Regina tersenyum merasa tak keberatan. Lagipula tak salah juga perkataannya, Regina membahayakan keselamatan satu Kekaisaran, tidak, bahkan satu benua.

"Kapan seragammu datang? Gaunmu terlalu mewah untuk seorang siswi akademi." Nela membuka topik lagi.

"Ah, kata kakek Frank itu akan diantar besok."

"...??" sempat Nela tak mempercayai apa yang ia dengar. "Siapa yang berkata?"

"Kakek Frank."

Nela melotot. "... Kepala Akademi?!"

Bruk!

Buku-buku tebal alkimia yang semula di atas meja kini jatuh berantakan ke bawah karena Nela yang tiba-tiba berdiri terkejut.

"Nela!" guru yang menjelaskan itu menyentak saat melihat barisan muridnya berisik di tengah pembelajaran.

Lekas-lekas Nela mengambil kembali buku itu. "Maafkan saya, Guru."

Wah, gurunya galak. Regina kembali fokus menatap bukunya takut-takut ia juga ikut dimarahi. Buku tentang alkimia ... membahas ramuan-ramuan yang dibuat dengan perhitungan ketat. Cukup rumit, tapi Regina merasa ia bisa melakukannya.

"Baiklah, mari kita lanjutkan pelajarannya." ujar guru kembali menjelaskan materi-materi yang tertulis di papan.

Tampak rumit, tapi ... bagi Regina ini hal yang mudah.

Usai kelas diselesaikan, bel jam istirahat berdering disambut raut bahagia para siswa. Tak lama setelah itu banyak siswa yang mendekati Regina, bergerombol.

"Hei, kerabat Kaisar?" tanya salah satu siswa perempuan dengan rambut dikepang dua. "Salam kenal, aku Johanna. Panggil saja Jo."

Regina merasa sedikit tertekan dengan perhatian seperti ini. "Oh, hai ... aku Regina. Dan aku hanya rakyat biasa."

"Rakyat biasa? Kamu sangat payah dalam berbohong." Johanna masih tak percaya.

Gadis lain di sampingnya menyenggol Johanna tanpa sadar. "Sudah jangan memaksanya, lihat Regina tampak takut denganmu."

"Ah, tidak apa-apa!" ujar Regina melambai kedua tangannya canggung.

"Begitu? Maaf, temanku memang terlalu bersemangat di beberapa situasi." ujar gadis itu tersenyum kalem. "Aku Sindy."

Nela tiba-tiba mengajak Regina berdiri. "Mereka teman-temanku, sekarang jadi temanmu juga. Jadi, ayo ke kantin!"

Regina segera berdiri sebelum otaknya mencerna tentang apa yang sebenarnya terjadi, begitu cepat. Tapi sebelum kaki Regina melangkah, beberapa siswa lainnya memprotes karena belum mengucap salam kenal.

"Kami belum memberi salam, jangan menculiknya begitu, Nela!"

Nela menjulurkan lidahnya sembari memeluk Regina erat. "Siapa cepat dia dapat."

"Dasar gadis gila."

Regina tak paham persis mengapa semuanya di sini begitu ramah dan baik, semuanya juga tertawa walau umpatan terkadang muncul di sela-sela percakapan mereka. Regina hanya bersyukur, rambut perak tak dianggap najis dan terkutuk.

"Omong-omong," Sindy terpaku pada rambut perak Regina yang mencolok. "Kamu punya rambut yang indah, Regina."

Mereka begitu baik, Regina hampir menangis senang.

REGINA: Don't Want to DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang