Perjuangan yang dianggap sudah sepenuhnya menjadi bukan apa - apa, ketika pejuang lainnya yang menjadi penggerak sesungguhnya dari orang yang menyatakan diri jika dia adalah penyelamat yang sempurna, dan yaaa... Dia adalah aku dan pejuang lainnya itu adalah Pakdhe.
-Jeden Jung-
—Sepulang dari rumah Bapak, Je mendadak diserang lapar ia ingin memakan sesuatu yang bertekstur kenyal, gurih dan pedas alias mie ayam. Jadi usai menentukan tujuan Je langung menyetir mobil ke tujuan. Nadhira dan Je sudah di warung mie ayam langganan mereka setelah sepuluh menit melaju, seperti biasa Nadhira akan memesan mie ayam setengah porsi karena nggak habis kalau satu utuh. Je request tambah bakso dan ceker biar makin mantap kalau Je bilang.
Nadhira menggelengkan kepala, nggak habis pikir soalnya makin ke sini cita rasa ludah Je makin melokal. Nadhira yang notabennya orang lokal aja pilih - pilih kalau soal makanan karena nggak semua cocok dilidahnya.
Tapi Je nggak! Setiap diajak cicip makanan baru pasti langsung cocok, apapun dia doyan. Sate usus saja Je doyan, catat sate usus dan di tambah jeroan dari ayam yang digoreng Je juga suka! kata Je teksturnya garing namun lembut creamy kalau dikunyah.
Jika ada yang bertanya dari siapa Je tahu makanan semua itu? Jawabannya dari Syaiful kepala devisi marketing perusahaan. Syaiful lah yang selalu mencekoki makanan berminyak itu untuk Je karena lelaki kulit tan itu suka dengan makanan merakyat seperti itu demi berhemat demi istri dan anak kembarnya, tapi dia hematnya ngajak - ngajak Je. Padahal nggak usah diajak hemat juga Je nggak akan pailit juga, kalau hemat yang ada Je akan makin kaya raya!
"Mie ayam dua, yang satu setengah porsi nggih Pak,"ujar Nadhira pada Paklik yang penjual mie ayam.
"Nggih mbak,"
"Cekernya jangan lupa, Ra!" Je berseru mengingatkan dari tempat duduknya. Nadhira menggerlingkan matanya.
"Yang porsi penuh tambah ceker satu ya pak," Je yang mendengar Nadhira memesan pun menyahut lagi. "Dua Ra, cekernya kalau satu kurang."
Nadhira membalik arah tubuhnya, "jangan makan banyak - banyak Je," seru gadis itu balik.
"Sekali aja Ra, please." Je menunjukkan wajah melasnya yang super duper meresahkan itu kalau kata Nadhira.
Nadhira menghela napasnya, "kan di meja juga ada cekernya,""Langsung ditaruh mangkuk dan diguyur kuah rasanya lebih enak dari pada dimasukin pas mie ayam udah di meja, Ra." Nadhira nggak habis pikir tapi tak ada pilihan lain selain menuruti.
"Iya udah, iya!" Nadhira tak ada pilihan lain selain memesankan sesuai keinginan Je.
Mie ayam pesanan mereka pun sudah diantar, wajah berbinar Je pun tercipta. Nadhira hanya merespon kegembiraan Je itu dengan helaan napasnya seperti biasa kala melihat sikap Je yang kadang - kadang aneh itu.
Sedang asik makan mie ayam, segerombolan remaja menyita perhatian Nadhira. Nadhira kenal dengan gerombolan remaja putri itu. Saat mereka duduk di kursi kosong pun Nadhira tak sabar untuk menyapa.
"Halo gaes," sapa Nadhira penuh suka.
"Wih...mbak Dhira, hallo."
"Mbak Nad, hallo juga."
Sahut sapa mereka tak kalah hebohnya dengan Nadhira. Je yang mulanya fokus dengan cekernya pun beralih atensinya ke kericuhan gemas yang baru didengarnya.
"Pulang sekolah?" tanya Nadhira.
"Yoi mbak, karena perut lapar paska hantaman matematika jadi kita membutuhkan amunisi atas kekejaman matematika itu."
"Lah kok matematikanya yang disalahin sih? Kan matematika ilmu yang menyenangkan." sambung Nadhira untuk curhatan anak - anak alumni 'tutor mbak nad' itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another World - Wilujeng Tepang
FantasiaHidup ini bisa diibaratkan seperti pancaroba... musim tahunan yang nggak bisa tertebak. Kalau kata orang jawa 'ujuk - ujuk kok ngene, padahal jane rendengan kan udan kok malah panas ngetang - ngetang.' Hidup juga seperti itu - inginnya bahagia sampa...