30. Book II: An Unbearable Longing 2.0

78 9 0
                                    

Sudah tiga hari berturut-turut Noel mencoba menghubungi Walther, tapi tak kunjung berhasil. Dia berlari di tengah hawa dingin, menembus sisa-sisa partikel salju yang kontras terasa di udara. Pun, napasnya memburu, mengembuskan uap hangat. Bersama seragam sekolah, berlapis mantel merah juga lengkap dengan ransel di pundak. Noel memasuki phone both yang tak jauh letaknya dari gedung sekolah.

Di dalam ruang sempit, Noel mendengkus. Mengusap hidungnya akibat dinginnya udara, kemudian meraih gagang telepon, dengan terburu jemarinya menekan nomor yang bisa menghubungkannya dengan Walther. Menunggu panggilan terjawab, diliriknya melalui kaca tempat sekitar; memastikan mobil dan sopirnya yang pria berbadan besar yang ditugaskan ayahnya untuk menjemputnya masih belum datang.

Pada bunyi ke empat, panggilannya tersambung. Seseorang dari seberang menjawab, "Halo ..."

"...Walther" Bibir Noel bergetar.

Di ujung telepon, suara keterkejutan menyeruak dalam indera pendengaran. "Noel, kau, kah itu?"

"Ya ... ini aku," jawabannya, air mata mengalir di pipi.

"Bagaimana kabarmu? Aku sering meneleponmu tapi nomormu sudah tidak aktif lagi, di mana kau sekarang bisa kita bertemu? Noel aku merindukanmu."

"Tapi tidak sekarang. Sejak kejadian itu, ayah terus mengawasiku. Dia bahkan mempekerjakan seseorang untuk mengikutiku dari jauh, walau dia pikir aku tidak menyadarinya," Noel berkata dengan suara rendah, dan tersamarkan bising lalu lintas.

"Kapan kita bisa bertemu?"

"Dua minggu lagi, di dekat taman. Aku tak bisa bebas berpergian dalam dua minggu ini karena ayah selalu mengawasiku."

"Baiklah. Noel aku ..." Walther dengan berat hati menyetujuinya, dia tidak tahu apakah dia sanggup menunggu kekasihnya itu selama dua minggu lagi.

"Aku mencintaimu," ucap Noel. Sebelum menutup teleponnya pelan tanpa memberi kesempatan untuk Walther membalasnya.

Sesungguhnya dia sudah tak sanggup menghambat isakan tangisnya. Noel tahu kekasihnya itu tak akan tahan mendengar dia menangis, jadi Noel memutuskan panggilan secara sepihak agar tangisannya tak terdengar oleh Walther.

Hari di mana janji untuk bertemu akhirnya tiba, Walther sudah tiba lebih dulu tiba di taman kota, begitu melihat siluet Noel yang mengenakan jaket parka coklat tua masih jauh, bergegas dia keluar dari dalam mobilnya dan melambai agar kekasihnya itu mengetahui posisinya.

Noel yang baru datang menoleh ke sisi kiri dan kanan, melacak keberadaan Walther apakah sudah tiba atau belum.

"Noel!"

Suara yang sudah familier itu menghentikan langkahnya, memanggil namanya diiringi angin yang bersiul semakin dingin.

Jantung yang semula terasa mati dalam kebekuan seketika berdetak kencang. Noel menemukan sosok si pemilik suara berdiri di samping mobil yang terparkir dekat pohon maple yang daunnya sudah rontok. Satu tangannya melambai kepadanya, sedang yang satunya dimasukkan ke dalam saku duffle coat.

Detik itu juga Noel berjalan mendatangi sosok tersebut, gerakannya semakin cepat setiap langkahnya, hingga dia akhirnya berlari dan langsung menghambur ke pelukan Walther.

[BL] Sang Pembunuh Berbisik ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang