29. Book II: An Unbearable Longing 1.0

2.3K 292 19
                                    

Tiga minggu sudah berlalu, Noel bersama ayahnya memulai pagi dengan keheningan di meja makan. Ayah dan anak itu menyantap sarapan tanpa bicara. Noel tidak sanggup makan banyak, nafsu makannya tidak sebesar di hari-hari ketika dia dan Walther selalu bersama.

"Kau harus makan banyak," tandas Sergey sambil meletakkan telor mata sapi di piring Noel. Putranya tidak membalas, hanya diam menatap bacon dan tambahan satu telor mata sapi di piringnya tanpa selera.

"Maaf untuk yang kemarin," ucap Sergey setelah tiga minggu tidak sedikit pun menyinggung hubungan antara putranya dengan pemuda bernama Walther.

Noel menggeleng. "Ayah tidak salah, justru akulah yang salah. Aku tidak menepati janjiku, aku selalu berbohong."

Sergey menarik napas panjang. "Seharusnya aku mengatakan hal ini dari dulu padamu," ujarnya dengan nada yang lebih serius, berhasil menarik perhatian Noel untuk mendengarkan. "Aku dan Aaron Zwick dulu berteman baik." Ayahnya mulai cerita. "Kami bertemu ketika masuk universitas yang sama. Sejak lulus perguruan tinggi, Aaron menjadi Direktur Utama dari perusahaan ayahnya dan dia mengajakku bergabung. Zwick & SON. Inc adalah nama perusahannya."

Noel terkejut. "Zwick & SON. Inc yang merupakan perusahaan dengan bisnis obat-obatan terbesar itu?"

Sergey mengangguk. "Aku menjadi ilmuwan di sana. Dia juga sering ikut penelitian denganku, melakukan uji coba bahan kimia. Bersama ilmuwan yang lain kami berkerja sama membuat obat baru untuk penyakit yang belum ada obatnya."

Noel mendengarkan dengan serius tanpa menyela.

"Hingga suatu hari, kami menemukan penemuan baru. Sebuah zat kimia yang tidak terdeteksi, zat itu bisa membunuh orang tanpa bisa dideteksi penyebab kematiannya. Begitu masuk ke dalam tubuh, cairan itu langsung mematikan sel di dalam tubuh yang menyebabkan kematian. Dan Aaron Zwick memulai bisnis gelapnya dengan itu, dia menjualnya kepada mafia dan orang-orang yang memiliki niat jahat. Di saat kami menyelamatkan banyak nyawa, di sisi lain juga membunuh beberapa nyawa.

"Tapi ayah tidak bermaksud begitu." Noel menangkis spekulasi tersebut. Ayahnya tidak ada niatan sama sekali melakukan hal itu.

"Tetap saja semua itu termasuk tanggung jawabku. Sekarang kau sudah tahu ceritanya." Tapi tidak semuanya.

Noel mengangguk lemah. "Apa Walther juga mengetahuinya?"

"Ayah tidak tahu," Sergey menjawab seadanya. "Tapi percayalah, semuanya akan baik-baik saja." Dia memberikan senyum simpul, kemudian mengusap lembut surai pirang putranya.

Noel mencoba memikirkan tanggapan apa yang akan dia berikan kepada ayahnya. Namun pada akhirnya dia hanya tersenyum seolah keadaan akan baik-baik saja seperti apa yang dikatakan ayahnya.

***

"Kau yakin ingin berhenti bekerja?" tanya seorang wanita memakai blazer navy dengan rambut coklat bergelombang sebatas bahu, usai membaca surat pengunduran diri salah satu karyawannya, Noel Noel Baluev.

Hanya anggukan yang Noel berikan sebagai jawaban. Sejujurnya, berat baginya untuk melepaskan pekerjaan ini. Selain gajinya yang cukup besar, managernya ini juga ramah, dan Noel sendiri sudah nyaman bekerja di kafe HOPE ini. Tapi mau bagaimana lagi, keputusan ini adalah perintah mutlak dari sang ayah. Dan Noel tak dapat membantah.

Wanita berusia pertengahan tiga puluh itu menarik napas singkat, melihat Noel yang menundukkan kepalanya dengan ekspresi murung.

Meletakkan kembali surat pengunduran diri Noel, si Manager bertanya, "Kenapa kau tidak meminta cuti saja?" Bernegosiasi, dia harap si pemuda mengurungkan niatnya.

Tetapi Noel menggeleng. "Aku sudah banyak melakukan cuti bulan ini." Dia tidak enak jika terus-menerus mengambil cuti.

Negosiasinya gagal, wanita itu mengulum senyum tipis dan berkata, "Baiklah jika itu keputusanmu," Jeda sejenak, dia memandang Noel dengan agak khawatir. "jangan sungkan jika kau ingin bekerja di kafe ini lagi, akan selalu ada lowongan pekerjaan untukmu di sini."

"Terima kasih, Manager Jean." Noel tersenyum simpul dan keluar dari ruang manager.

Embusan angin menerpa helaian surai pirangnya ketika Noel keluar dari HOPE Caffe. Dia akan merindukan saat bekerja di sini.

Awal musim dingin ini, Noel kembali dihadapkan pada dingin udara. Dinginnya hati yang kesepian setelah ditinggalkan orang yang dicintai karena tak direstui.

Sambil menyeret langkahnya menapaki trotoar, Noel mengeratkan syal merah yang menggantung di lehernya sambil sesekali menggosokkan kedua tangannya. Kebiasaannya dalam melupakan sarung tangan tidak pernah berubah, bahkan sering kali diingatkan oleh sang ayah, juga sang kekasih. Jika tak diingatkan, akan seperti ini, dia lupa menggunakannya. Karenanya Noel selalu bergumul dengan dingin yang nyaris membekukan kesepuluh jemarinya.

Orang-orang yang berpapasan dengannya sedang dalam suasana hati yang baik. Tetapi dia berjalan dengan pandangan tertunduk. Sampai langkah membawanya tepat di depan kotak telepon berwarna merah.

Sepi menggiring langkah demi langkah Noel sampai di depan telepon umum yang menjadi tempat pemberhentiannya. Dengan sabar diangkatnya gagang telepon itu ke telinga.

Noel mengencangkan jemarinya pada gagang telepon dan memejamkan matanya rapat-rapat. Sudah lima kali Noel mengubungi satu nomor yang telah dia hapal di luar kepala, tapi si pemilik nomor tak kunjung menjawab panggilannya. Dia terus menghubungi nomor tersebut, tetapi usahanya sia-sia.

Noel menendang kerikil yang tak jauh dari tempatnya berdiri sambil mendesah frustrasi. Dia sudah menghabiskan enam koin uang jajannya untuk menghubungi Walther. Namun, pemuda itu tak dapat dihubungi sama sekali. Sejak kejadian itu mereka sudah tidak saling bertemu selama hampir sebulan lebih, kehilangan kontak.

Cinta tak hanya bisa membuatnya bahagia, tapi juga membuatnya menderita.

[]

[BL] Sang Pembunuh Berbisik ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang