Part 29

161 23 26
                                    

Dawai asmara bergetar syahdu
Mengalunkan senandung rindu
Belaian mesra membuai jiwa
Tak terlukiskan bahagia

Nada musik dangdut klasik ini menemani laju kendaraan menuju kampung halaman. Dentuman merdu mengiring dekat jantung bertalu. Sebentar lagi, masa berbahagia akan tiba. Bukan sekadar menjadi tamu undangan atau pengisi acara. Kini ia sendiri yang akan berperan menjadi raja dan sang gadis kalem tercinta menjadi ratu. Hanya selangkah lagi.

"Salamu'alaikum." Salam menderu merdu. Disambut tatapan para tetua.

Langkah pria sejati menjejak di dalam ruang temu rumah besar kebanggaan tetua Teungku Syamsul Hadi, Kakek sekaligus tetua di kampung mereka. Nama "Teungku" bukan sembarang gelar dan disematkan kepada sembarang orang. Tengku adalah gelar kehormatan bagi beberapa kriteria di Aceh, yaitu bagi para Leube atau leubei (santri), orang malem atau muallim (guru),  pengajar Al Qur'an, dan bagi Kadhi (Kadi) yang berperan sebsgai hakim agama di daerah Uleebalang. Syamsul Hadi memiliki gelar "Teungku" karena perannya sebagai tokoh agama atau pemuka agama di kalangan masyarakat Aceh.

Faulando Adrian tidak memiliki gelar yang sama dengan sang kakek pun demikian dengan ayahnya. Meski biasanya, gelar Tengku bisa didapat apabila ayahnya juga memiliki gelar yang sama. Tetapi baik sang ayah maupun Faul sendiri tidak memakai gelar tersebut. Rasanya sikap dan perilaku keduanya masih tak pantas menyandang gelar istimewa. Ketinggian gelar dan kebijaksanaan sang kakek yang membuat jantung Faul kian berdegup kencang bak tabuh perang untuk sekadar bertandang.

"Awan pedih (Kakek), Faul jauh beradu waktu dan jarak kemari guna sampaikan niat untuk menikah dengan gadis puja'an. Inshaa Allah shalihah, rajin ibadah pun berhijab. Elok rupa dan perangai. Tentu punya kurang sebagai manusia, namun jua ia melengkapi kurangnya Faul."

Bak penyair sajak, bermodalkan mahkota kesantunan, Faul merunduk kepala. Khas cara berkata dengan tetua keluarganya itu.

"Yakin dikau, Nak?. Papamu sudah bertukar kabar denganku. Baik memang calon pinanganmu itu secara dhohir (tampak). Tetapi segala hal berbeda antara kamu dengan dia. Kamu dididik sejak bayi di ujung negeri dari daerah kecil kampung Aceh ini. Sedang dia berasal dari Kota Besar di pulau pecinta harta emas. Dan dibesarkan di negeri bebas selama bertahun lamanya. Layak kah kalian menyatu?," ujar Teungku Syamsul Hadi dengan lemah lembut namun jua tegas. Mengikuti lembut dan santunnya sang cucu tercinta.

"Perbedaan memang banyak Awan Pedih, namun demikian hati sudah terpaut. Bagaimana menolak takdir yang diukir Allah?."

Tatapan datar nan dingin Teungku Syamsul Hadi menghias wajah yang mulai keriput di usia senja. Tak patut memang beradu argumen dengan pemuda cerdas turunannya ini, lebih mudah beradu dengan anak kandungnya yang masih punya sikap keras kepala dan keras dalam bertata kata.

"Tiga milyar dipinta gadis bugis itu, adakah harta pribadimu?. Ataukah kau andalkan hasil jerih payah orangtuamu?." Kembali pertanyaan sebagai uji diberikan.

Faul mengangguk yakin. "Papa tak hanya memberikan kehormatan menjadi puteranya, namun jua memberikan kesiapan lahiriah berupa akal dan pengetahuan. Dengan modal teramat besar itu Faul bertahun - tahun berinvestasi dan memiliki usaha sendiri. Alhamdulillah, modal diri ini telah cukup guna membina rumah tangga. Tak hanya sekadar memeriahkan pesta."

"Adakah penghalang restu dari kedua orangtuanya?," tanya Teungku Syamsul Hadi lagi.

"Restu telah kuraih, dengan syarat restu dari kedua orangtua Faul. Restu kedua orangtua tentu berasal dari Awan Pedih."

"Jika aku tak merestui?."

Wajah bening berseri Faul memucat pasi. Apakah penantian ribuan hari dan perjalanan ribuan kilo akan menjadi sia-sia karena terhalang restu.

"Jika seorang wanita yang menolak lamaran pemuda shalih ibarat mengundang bencana. Apalah beda jika seorang pemuda yang telah menemukan pelabuhan hati kepada wanita shalihah?. Tidakkah kelak mengundang bencana jika syaitan memberi jalan kesesatan?."

Faul menarik napas sebelum melanjutkan kalimat, "Lagipun bagi seorang pria sejati, janji adalah pedang bermata dua. Jika tidak benar dalam mengeluarkannya dari sarung lisan, maka ia akan menyerang dirinya sendiri. Sedang Faul telah berjanji menikahi si Shalihah atas dasar iman dan kecintaan. Tidakkah cukup semua itu agar Awan Pedih berbelas kasih untuk merestui?."

Kali ini wajah memelas Faul tampakkan untuk mereguk madu restu sang kakek.

"Boleh ya? Ibadah seumur hidup ini, masa iya asal memilih?," bujuknya lagi.

Tak tahan berlama-lama menahan wajah datar dengan tingkah polah sang cucu. Teungku Syamsul Hadi berdeham, "Jika aku tak merestui? ........ apakah kamu akan lakukan seperti apa yang ayahmu lakukan?."

Kedua kali disebutkan kalimat itu, ditambah kalimat tanya yang telak menghantam hati bak batu besar jatuh ke bumi. Bukan main-main artinya. Ada keberatan ataukah maksud penolakan yang membuat kerongkongan Faul bak gurun sahara, kering kerontang. Haruskah cara muslihat sang Ayah diikuti jejaknya guna memudahkan langkah menuju mahligai rumah tangga dengan pujaan?.

"Tidak, meski sempat terpikir demikian. Tidak patut kulakukan kepada Awan Pedih. Bijaklah aku merayu dan membujuk daripada tipu muslihat."

Teungku manggut-manggut tanpa kejelasan arti. Membuat suasana hening di rumah besar itu semakin hening. Bahkan suara menelan saliva saja rasanya dapat terdengar sangking heningnya. Leher Faul terasa terikat tali begitu kuat. Apalagi ketika Teungku mengitari ruangan dengan pandangan kepada para tetua lainnya dalam keluarga.

"Keputusanku atas permohonan cucu ini adalah ..."

May, 22, 2023

😆😆😆

Ijinkan Aku MenyayangimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang