Part 32

77 6 0
                                    

Bukan kewajiban calon pengantin pria sebenarnya untuk mencampuri urusan di antara kakak beradik keluarga Rahardi. Dia hanya cameo yang sengaja dilibatkan untuk menjadi tokoh protagonis yang manis, meski suka dipandang sinis. Malas sebenarnya, tetapi daripada calon bini yang turun tangan membantu mantan, lebih baik dia yang sedikit berjuang dengan membantu orang. Rempong dikit nggak ngaruh kan?.

Di hadapannya sekarang Putri tersedu-sedu setelah pertengkaran dengan Kakak seayahnya-- Fildan Rahardi. Faul menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bibirnya yang bergetar ingin menimpali anak gadis yang lebih mungil daripada calon bininya itu. Keras kepala, melebihi segenap gadis keras kepala yang dia kenal sedunia. Eh, ini sedikit hiperbola.

"Aku bukan anak Rahardi. Aku bukan anak Raditya, aku bukan anak dari ayah manapun di dunia ini. Aku tidak punya ayah."

"PUTRI." Teriakan lantang Fildan seiring dengan tangannya yang menggantung di udara. Hendak menampar wajah mungil sang adik. Mata kecilnya sudah memerah, melotot tajam dengan napas memburu. Ucapan pedas seperti itu jelas tak layak jika diperuntukkan kepada orangtua sendiri.

"Apa? Apa? Pukul, tampar. Itu aja yang bisa dilakukan pria-pria keluarga Rahardi. Kalian egois, munafik." Putri semakin menantang dengan mendekatkan pipinya ke tangan Fildan yang berada di atas kepalanya.

"Arrrgh."

Bugh bugh.

Bukannya melayangkan pukulan atau tamparan di wajah Putri. Tangan Fildan justru beralih ke dinding di sisi kanannya. Memukul berkali-kali hingga bercak-bercak merah menempel di sela jemari dan dinding berwarna putih itu.

"Heeeei. Kak Fildan, udah Kak."

Mau tak mau Faul maju menghalangi Fildan menyakiti dirinya sendiri. Faul sudah berani mengambil tugas dari calon bini untuk membantu pria itu. Jika Fildan terluka, bukan tak mungkin Faul yang dihamuk habis-habisan oleh Selfi. Dianggap tak bertanggungjawab dan menepati janji.

Fildan berteriak histeris, memberontak mencoba melepaskan diri dari kuncian Faul. Emosinya memburuk karena kondisi tubuh yang belum stabil. Ingatan yang belum sepenuhnya pulih ditambah tekanan bertubi akibat penolakan sang adik. Belum lagi memikirkan calon isteri yang terluka di negeri seberang.

"Sudah Kak, Kakak belum benar-benar fit. ... KAK !!."

Belum sempat melakukan apapun, kondisi semakin memburuk karena tubuh Fildan yang tiba-tiba saja ambruk. Pria muda itu kehilangan kesadaran setelah hembusan napas kasar terdengar dalam berontaknya.

"Bang Fildan bangun, hei bangun, hei."
Faul menepuk-tepuk pipi Fildan, berharap kesadaran pria muda berkulit sedikit gelap itu kembali. Nihil, tidak ada reaksi.

"Putri jangan gila kamu, ini kakakmu sakit hei," teriak Faul karena Putri bukannya membantu mengurusi sang kakak, malah perlahan melangkah mundur, nampaknya mencoba untuk lari dari masalah. Atau ketakutan dijadikan tersangka penyiksaan.

"Bantu Kak Faul dek. Sekarang," bukan lagi nada lembut khas Abang-abang kepada adiknya. Kali ini Faul sudah memberi perintah tegas yang membuat Putri mau tak mau menurut patuh. Putri mendekat, menggengam telapak tangan Fildan yang terasa sedingin es. Seperti tak dialiri darah di nadinya. Tidak bisa dipungkiri, terselip rasa khawatir di benak Putri meski coba ditepis.

"P-panggil dokter. Atau gimana ini Kak Faul?." Putri ikut kebingungan. Sebenarnya tadi dia tidak berniat kabur, dia hanya shock karena pertengkaran dilanjutkan amukan Fildan. Hati seorang Putri sebenarnya lembut meski keras kepalanya level akut.

"Kita ke rumah sakit dek, kamu bantu kakak."

Faul menyerah menepuk nepuk seluruh wajah Fildan. Tangannya mengalami tremor. Ikutan keringat dingin.

Ijinkan Aku MenyayangimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang