1. Si Sialan Choi

1.6K 212 123
                                    

Yang paling kuingat di pertemuan pertama kami adalah bagaimana mata itu memiliki sorot dingin dan tajam ketika tak sengaja menatapku, dan ketajamannya serupa sisi sabit yang tak pernah luput diasah, dapat menemukan jiwa di persembunyian terdalamnya hanya dalam sekali tebas. Tapi, bertentangan dengan itu semua, vokalnya begitu hangat ketika menguraikan singkat bab pertama pada buku acuan yang tetap direbahkannya di atas meja, kemudian mulai mengajar di hadapan seisi kelas.

Dua maniknya yang kelam pekat itu jarang tertaut pada peserta didiknya, hanya berpindah dari buku, papan tulis, mengawang sebentar seperti sedang menembus dinding di belakang punggung kami, berpindah lagi ke buku, papan tulis, begitu seterusnya. Dia tak akan bisa menyembunyikan statusnya sebagai dosen baru. Terlalu gampang ditebak.

Namanya Choi Seokjin, tapi kami lebih sering memanggilnya dengan Choi Seonsaengnim. Rambut lurusnya sehitam arang dan membingkai wajahnya dengan sempurna. Atau wajahnya memang sudah sempurna seandainya rambut-rambut itu tidak ada? Tapi tak diragukan lagi, dia benar-benar tampan. Harusnya itu saja sudah cukup agar dunia adil, tapi keberuntungannya tak terhenti hingga di situ. Choi Seonsaengnim memiliki tubuh tinggi ideal dengan bahu yang bidang, bahkan cukup lebar untuk menampung semua mimpimu di sana.

Hah! Aku pasti sudah gila terbawa euforia para mahasiswi yang memang menggila setiap Choi Seonsaengnim masuk mengajar. Mereka selalu saja bersuara seperti cicitan tikus terjepit pintu, lalu diam-diam memukul gemas pundak satu sama lain sambil berbisik-bisik. Aku menyebut kelakuan yang seperti itu sebagai Choi Effect. Reaksi yang ditimbulkan pada kaum hawa di kelas kami setiap Choi Seonsangnim menyugar rambutnya ke belakang, atau setiap dia mengulum kecil bibirnya ketika sedang memikirkan sesuatu, atau setiap dia membenarkan gulungan lengan kemejanya hingga siku. Memang betul-betul tampan. Tapi aku tidak suka.

"Pria itu di mana-mana sama saja. Kalau tidak hobi selingkuh, ya, hobi berjudi," kataku pada Bitna tanpa memelankan suara saat duduk-duduk santai sambil menunggu mata kuliah berikutnya di taman kampus. Ini adalah spot favorit kami. Letaknya lebih tersembunyi dibanding bagian taman lainnya. Bangku yang kami duduki berupa kursi kayu ganda yang sandarannya saling berpunggungan. Jika memang ada orang yang duduk di belakang kami, aku juga tak peduli. Kalimat seperti tadi kalau memang betul-betul sampai ke telinga Choi Seonsaengnim, ya, syukur. Kali-kali saja dia tidak jadi besar kepala karena sadar pada ketampanannya. Biar tahu kalau tidak semua wanita tertarik padanya, pikirku. Tidak paham juga mengapa aku punya urgensi semacam itu.

"Kau ini gila ya? Bisa-bisanya menyamakan Choi Seonsangnim dengan pria biasa," sanggah Bitna, sahabatku sudah dua tahun ini.

Aku menyipitkan mata, memandangi Bitna dengan tatapan skeptis, lalu satu sudut bibirku tertarik ke atas mencebiknya kesal tanpa suara. Atas dasar apa dia menganggap Choi Seonsangnim lebih istimewa dibanding pria lainnya? Apa hanya karena bentuk fisiknya yang tidak manusiawi dan lebih mirip penghuni surga itu? Pfft, dangkal sekali.

"Choi Seonsaengnim tidak mungkin serendah tipekal pria di dalam otakmu itu," Bitna kembali membual, aku mulai jengah mendengarnya. "Kudengar, dia seorang chaebol. Ayahnya punya banyak bisnis dari berbagai bidang. Bahkan dia pernah datang ke kampus dengan helikopter. Taehyung yang bilang padaku. Dia melihatnya ketika sedang merokok di sekitar helipad. Taehyung menyaksikannya langsung."

"Kau masih bertemu Taehyung?" Fokusku teralih. Lagi-lagi aku memandang Bitna dengan sinis, "Kau ini tidak kapok-kapok, ya? Mau tunggu sampai dia menghamili dan menyuruhmu menggugurkan janin seperti yang dilakukannya pada Suah?"

"Yak! Yoo Jinah! Hari ini mulutmu terlalu lemas, ya? Belum sempat merokok atau bagaimana, hm? Apa ayahmu berjudi lagi dengan tabunganmu dan kau tidak punya duit untuk membelinya?"

Ah, aku malas kalau Bitna mulai menyinggung si tua bangka itu.

"Tck. Kau mengalihkan pembicaraan," sebutku tidak segarang sebelumnya. "Awas saja kalau kulihat kau masih kencan dengan si berandal itu. Jangan sampai nasibmu sama seperti Shuhua. Walau tolol dan polos begini, kau ini tetap sahabatku, tau."

When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang