26. Broken Fragment

1.2K 204 78
                                    

Halo, lama tak bersua :D Hmm... Sepertinya cerita ini makin ditinggalkan, hiks. Kalau begitu, 200 vote dulu ya darlings. Kalo nyampe, baru lanjut...

(Awas, part ini rada bikin terguncyaaang. Siapin mental ya, dan inget, ini hanya fiksi. Jangan memaki visual di dunia nyata 🥲 sayang mami Taeyeon banyak2 🫰🏻)

.

.

Seokjin. Petir musim panas. Kamar kami yang gelap, dingin. Rumah perahu. Haeri. Air danau yang kelam. Tenggelam. Taehyung. Ruang bawah tanah. Petir. Petir lagi. Petir lagi, makin besar. Dan aku terbangun.

Aku menyadari kamarku sudah gelap, jam dinding menyentuh angka 2, dan Seokjin tertidur di kursi yang digeretnya ke sisi ranjangku. Pakaian yang dikenakannya masih kemeja formal yang lengannya dilinting hingga siku dengan dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka, pakaian kebangsaannya jika pulang namun setumpuk pekerjaan terpaksa mengekor hingga rumah. Tapi dia tiba di rumah pada hari Minggu, tidak ada jadwal bekerja. Dia hanya pamit pergi bersama Yoongi, karibnya yang jarang sekali kutemui, lalu kembali beberapa jam kemudian. Entah apa yang membuat penampilannya acak-acakan seperti ini.

Aku mencoba mengatur napasku yang masih berantakan usai mimpi buruk bertamu tanpa permisi. Peluhku sudah seperti rembesan air di sudut langit-langit kamar rumah lamaku yang bocor, mengalir deras tak tahu kapan akan berhenti. Di pangkuanku, tergeletak sehelai handuk kecil basah yang kuyakini baru saja jatuh dari jidatku. Samar-samar aku ingat, aku demam, dan Seokjinlah yang kalang-kabut mengompresku, memeriksa suhu tubuhku setiap beberapa saat, juga menyuapiku bubur sebelum tertidur tadi.

Masih sambil mengatur napasku yang mulai stabil, kuperhatikan wajah Seokjin yang lelap. Dia tampak begitu damai. Dia pasti belum tahu bahwa beberapa waktu lalu aku dan Haeri sudah seperti kucing betina di musim kawin yang sedang rebutan jantan. Aku mengusap satu sisi wajahnya lembut, lalu tanpa bosan mengagumi garis wajahnya yang tampan. Jika sedang pulas begini, kesan dingin dan garang pada Seokjin hilang. Dia terlihat sama polosnya dengan bocah sepuluh tahun yang sedang dibuai mimpi.

Aku tersadar bahwa di tengah suhu kamar yang dingin, Seokjin tidur tanpa mengenakan sarana penunjang yang layak. Aku lekas bangkit untuk mengambilkannya selembar selimut. Sendi-sendi di tubuhku belum begitu luwes ketika kakiku turun dari ranjang. Rasanya kaku dan nyeri. Entah apa yang menyebabkanku mendadak demam, sementara isi perutku seperti dipilin-pilin. Mungkin makanan yang kumakan sebelumnya? Entahlah. Yang pasti, aku nyaris muntah ketika berhasil meraih selimut yang kusampirkan di teralis ujung ranjang. Kutangkup mulutku yang sudah mengerucut di antara pipi yang menggelembung. Kutahan sebisa mungkin agar isi perutku tak keluar.

"Jangan memaksakan dirimu berdiri."

Aku terkesiap ketika tahu-tahu Seokjin sudah berdiri di balik punggungku, menyentuh pundakku dengan hati-hati. Rasa mualku perlahan lenyap.

"Aku ingin menyelimutimu," kataku. Di saat inilah aku sadar, tenggorokanku kering, suaraku lebih mirip bisikan parau daripada suara merdu mendayu menyambut suami pulang.

Seokjin mengambil selimut dari tanganku, lalu menuntunku kembali ke tempat tidur, "Kau sedang sakit. Pikirkan kesembuhanmu sendiri, jangan repot mengurusiku," sebutnya. Dia membaringkanku hati-hati, seolah-olah aku ini adalah boneka porselen yang retak dan hampir pecah berkeping-keping. Setelah yakin aku sudah kembali rebah dengan nyaman bersama selimut yang menutup sempurna, barulah dia kembali duduk di kursinya.

Mengistirahatkan diri di sebuah kursi kecil bagi seseorang berbadan tinggi besar seperti Seokjin pasti bukan sesuatu yang mudah, aku bisa menyaksikannya kepayahan mengatur posisi, wajahnya gusar dan tak sabaran. Sudah dua kali dia mencoba gaya berbeda, dan ketika dia akan mencoba yang ketiga, giliranku yang jadi tak sabaran.

When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang