9. Dua yang Terluka

1K 198 129
                                    

Trauma itu kembali sebagai reaksi, bukan memori.

Musim panas yang terik. Gudang penyimpanan yang pengap. Jari-jari besar dan kasar berbau pahit tembakau. Seringai puas yang menjijikkan. Petir.

Aku suka hujan, tapi petir musim panas selalu mendahuluinya. Jaraknya bisa cukup lama. Karena itu, aku benci musim panas dan petirnya.

Ketika trauma pertamaku muncul, yang pertama kali ayah lakukan adalah lari. Dia meninggalkanku. Dia benci melihatku begitu. Mungkin baginya, kejadian yang telah menimpaku itu adalah beban seumur hidup yang terlihat begitu gamblang di pundaknya. Dia malu. Dia membiarkanku meringkuk ketakutan begitu saja di sudut ruang keluarga kami. Aku hanya ditemani bunga-bunga krisan yang dibiarkan layu dan sebingkai foto ibu bernuansa hitam putih.

Sejak prosesi pemakaman ibu, dunia ayah seperti terhenti, lalu berputar pada poros yang berbeda. Dia mabuk setiap malam, berjudi, memeluk wanita-wanita yang berbeda setiap jam tidurku tiba. Dia tidak peduli pada sisa-sisa dekorasi berkabung yang masih tertinggal, hingga dua minggu kemudian, bibi dan paman tetangga datang untuk membantu membereskannya. Dia tidak pernah menanyakan bagaimana hariku, apa aku sudah makan, apa yang membuatku bersedih hari itu, tidak. Dia tidak seperti ayah yang kukenal lagi. Dia tidak juga berkata apa pun ketika polisi dan warga sekitar menemukanku di gudang terkutuk itu. Setelahnya pun, hal yang sama terus terulang. Ayah selalu pergi meninggalkanku ketika rasa trauma itu menemukanku.

Jika menilik lagi semuanya, aku sedikit tidak percaya bisa tiba hingga di titik ini. Kutatap dua tanganku yang masih terbungkus sarung tangan renda Perancis berwarna putih, lalu bayanganku di cermin yang masih mengenakan gaun pernikahan yang juga serba putih berpotongan klasik. Rasanya baru kemarin aku menobatkan bahwa pernikahan adalah institusi paling rusak di dalam tatanan masyarakat. Aku tak ingin mengambil bagian di dalamnya. Tapi sekarang, aku terlanjur terjebak.

Aku menatap langit melalui jendela kamar yang sudah dari pagi kubiarkan terbuka. Abu-abu. Di batas cakrawala, warnanya jauh lebih gelap. Hujan akan turun lagi. Kilat-kilat kecil mulai membelah kaki langit. Aku hanya bisa berharap agar diriku jauh lebih kuat dari sebelumnya. Jangan menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada siapa pun, termasuk Seokjin. Belum tentu kejadian seperti tadi malam akan terulang untuk kedua kali.

Ngomong-ngomong, pernikahanku dan Seokjin baru saja usai. Tidak ada yang spesial. Entah aku yang terlalu tanpa emosi ketika menjalankannya, atau memang pernikahan ini tidak istimewa. Kecuali tamu-tamu yang datang, semuanya terasa biasa.

Pandanganku teralih pada situasi di bawah. Dari jendela kamar ini, yang bisa kusaksikan adalah jalur masuk yang memanjang hingga ke batas gerbang dan pohon-pohon Cypress yang ditanam dengan pola teratur.

Senja memerah. Satu per satu mobil yang berbeda mulai terlihat pergi meninggalkan rumah ini. Semuanya adalah tamu Tuan Lim. Aku sempat mengenali beberapa wajah yang kini berada di dalam tiap-tiap mobil yang beranjak pergi itu, di antaranya adalah pimpinan dari Kepolisian Provinsi dan Kepolisian Metropolitan Khusus, pemimpin redaksi dari sebuah surat kabar ternama, bahkan hakim wilayah. Aku bukan orang yang terlalu awam dalam mengenali wajah-wajah pesohor seperti mereka. Yang tak bisa kumengerti hanya, bagaimana mereka semua ada di pernikahanku dan Seokjin? Siapa sebenarnya Ketua Lim? Ada satu kepingan puzzle yang belum berhasil kutemukan.

Prosesi pernikahanku dan Seokjin hanya memakan waktu empat jam kurang. Jauh lebih sederhana dari keinginan Ketua Lim dan sesuai dengan saran Haeri. Sepertinya kakak tertua Seokjin itu memiliki pengaruh besar dalam setiap keputusan penting di keluarga ini. Prosesi pabaek dilaksanakan terpisah karena cuaca yang tidak memungkinkan akhir-akhir ini walau menurut perkiraan, sebagian besar wilayah Pocheon-si, tempat tinggal kami, hanya sedikit berawan dalam tiga hari ke depan. Entah mengapa ramalan cuaca seperti tidak berlaku di sini.

When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang