"Ta-Taehyung. Dadaku sesak."
Monster itu mulai memakanku. Pertama-tama, dia membuat rasa percaya diriku lenyap. Dia membuatku berpikir bahwa yang kualami ini adalah yang terburuk dari yang pernah kurasakan, dan aku bisa saja mati sewaktu-waktu dengan jantung meledak. Lalu debaran di dadaku semakin meningkat. Semua yang kupandang dan kudengar bagai menjauh. Aku seperti terlempar ke dunia mimpi, namun dipaksa untuk tetap sadar demi menyaksikan kesialan ini.
"Taehyung," panggilku lagi.
Pada mulanya Taehyung terlihat bingung. Dia baru bergerak panik ketika melihatku benar-benar lemas dan sudah hampir meluncur dari kursiku.
"Hei!" Taehyung lekas menahan bahuku agar tidak terjatuh lebih jauh, lalu berjongkok di samping kursiku. "Yoo Jinah, apa yang terjadi? Kenapa wajahmu pucat sekali?"
"Kita ...," Napasku mulai pendek dan berat, "kita pulang saja, ayo."
Taehyung menatapku. Kekhawatiran tergambar jelas pada bola matanya yang bergerak gelisah. "Tapi kau tidak mungkin berenang dalam kondisi seperti ini."
"Perahu itu," aku menunjuk speedboat milik Seokjin dengan telunjuk bergetar, "Tidak bisakah kita menggunakannya?"
"Bagaimana? Aku tidak punya kuncinya."
Benar juga. Kenapa kupikir Taehyung membawa kunci speedboat yang jelas-jelas milik Seokjin? Kalau sudah begini, aku memang jadi susah berpikir lurus.
"Haeri," sebutku.
"Kenapa dengan Noona?" Taehyung masih menahan tubuhku. Wajah kami masih begitu dekat. Aku bisa mencium pahit tembakau dengan sisa manis permen jeruk dari napasnya.
"Kita bisa mencarinya dan meminjam perahunya."
"Tidak!"
Penolakan tegas Taehyung membuat mataku membeliak.
"Berbahaya mendekati orang yang sedang berburu ketika cuaca seperti ini, hujan lebat akan membuat perhitungan mereka tidak akurat. Salah-salah, kau bisa dikira sasaran buruan, dan Haeri Noona tidak suka membiarkan targetnya lolos."
Sialan. Membayangkan sebutir peluru menembus kepala membuat rasa takutku melonjak drastis. Aku jadi semakin benci melihat langit hitam di atas danau, benci melihat kilat-kilatnya yang seakan mengejek kelemahanku. Benci membayangkan Haeri mengokang senapannya dengan wajah angkuh. Juga benci pada kenyataan, Seokjin tidak ada di sini. Aku tidak bisa menemukan pelukannya.
"Aku harus pergi!" Monster itu akan semakin memakanku jika aku diam dan tak melakukan apa pun. Aku berdiri dan melesat menuju pintu keluar.
"Ke mana?" tanya Taehyung. Dia ikut-ikutan berdiri dan mengejarku. "Jinah, di luar masih hujan! Kau yakin?"
Iya, aku tak yakin. Langkahku langsung kandas sebelum menyentuh ambang pintu. Kepalaku semakin berat. Aku terhuyung dan menyandarkan keningku pada kusen, sementara tiap tarikan napasku rasanya saling menindih. Ini menyesakkan.
"Ya Tuhan, Yoo Jinah," Taehyung semakin panik ketika melihatku sangat tak berdaya. Dia ingin menjambak rambutnya sendiri karena tidak tahu harus bagaimana. "Kau terlihat sangat tidak baik-baik saja, apa yang harus kulakukan?"
"Taehyung, diam!" Aku berseru kesal walau itu membuat dadaku nyaris meledak. Berbicara dengan kondisi seperti ini sangat menyulitkan. Aku tidak bisa mengambil napas dengan benar. Tapi aku juga tidak suka mendengar dan melihat kepanikan Taehyung. Itu hanya membuatku semakin cemas.
"Peluk aku."
Bukan hanya Taehyung yang terkejut, aku pun kaget. Permintaan di luar nalar seperti ini memang sesuatu yang tanpa rencana. Tapi jika sudah begini, kupikir memang ini yang kubutuhkan, sebuah pelukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTH
Fiksi Penggemar🔞🚩 TW: YANG PUNYA TRAUMA KEKERASAN SEKSUAL KETIKA KECIL (CHILD ABUSE) MOHON YAKINKAN DIRI SEKALI LAGI UNTUK MEMBACA CERITA INI. Setiap luka punya ceritanya sendiri. Sejak kejadian terkutuk di musim panas tiga belas tahun yang lalu merenggut kenai...