17. Enigma dari Bukit Seberang

1.1K 192 94
                                    

Terkadang, ketika manusia menyadari kesalahan terburuk yang pernah mereka lakukan, mereka akan menumbuhkan semacam empati tertentu. Empati yang bisa jadi diberikan pada waktu dan tempat yang keliru, empati yang justru dapat menyesatkan, mengaburkan artinya dengan penebusan rasa bersalah yang dipaksakan, dan kupikir, inilah yang Seokjin lakukan padaku.

Kami masih terjebak di dalam sebuah utas masa lalu yang terasa bagai selamanya, namun ternyata begitu singkat ketika kusadari jarum panjang jam yang tergantung di atas kepala Seokjin baru bergeser sebanyak lima spasi. Hanya butuh lima menit dan beberapa bait kalimat, semua memori yang sempat terblokir dari sirkuit struktur kognitif di benakku, kini mengalir begitu lancar dan penuh.

Serangkai ingatan dari peristiwa terkutuk itu mencuat. Tiap potongannya lekas memutarbalikkan duniaku dalam sekejap, seakan ingin merombak habis keyakinan yang mulai tumbuh di hatiku lalu menggantinya dengan keraguan yang terus memuai.

"Itu aku. Yang membawakannya sekotak pizza. Yang memungut koin tip yang menggelinding jatuh di bawah kaki pria itu. Yang melihatmu meringkuk dan menangis dengan gaun selutut terkoyak di bawah meja. Itu aku, Yoo Jinah. Dan aku tak melakukan apa pun untuk menyelamatkanmu."

Seokjin di sana. Dia adalah pemuda itu. Pemuda bertopi baseball hitam yang menyodorkan sekotak pizza dari balik pintu dengan tangan bergetar. Aku ingat bibir plumnya. Bibir plum, dengan setitik memar di ujung luarnya. Faktanya, hanya itu satu-satunya fitur darinya yang dapat terlihat sebab topi itu menutupi hampir seluruh wajahnya. Tapi Seokjin memang di sana. Ingatanku memanggil semuanya lagi sekarang.

"Kau sedang berbohong," ucapku dengan suara bergetar. Namun sebenarnya yang sedang berbohong itu aku. Aku sedang berusaha membohongi diri sendiri. Aku tahu yang Seokjin sebutkan itu fakta, tapi aku ingin diriku memercayai yang sebaliknya.

Tentu saja Seokjin menggeleng. "Tidak. Itu benar-benar aku."

Gada besar tak kasat mata itu menghantam kuat. Kurasakan segalanya di sekelilingku berputar seribu kali lebih lambat. Aku bisa menangkap semuanya dengan jelas. Tiap gelenyar darahku, desirannya mengaliri nadi, rasa sakit dan remangan yang seolah mengoyak-ngoyak pundakku, semuanya membuatku hancur. Aku menutup paksa mulutku yang baru saja mendengih pedih dengan sebelah tangan.

"Kau bohong," ulangku sia-sia.

"Yoo Jinah ...."

"Kenapa kau tidak menarikku dari sana!"

"Maafkan aku."

"Kenapa kau membiarkannya menyentuhku?!"

"Aku benar-benar minta maaf ...."

"Tiga hari, Seokjin! Tiga hari dia menjadikanku seperti sampah! Tiga hari dia membuatku merasa sekotor-kotornya dunia!"

"Jinah ...." Suara Seokjin melemah. Dia berdiri dan melangkah, namun aku menjauh sebanyak ia mendekatiku.

"Kenapa, Seokjin?"

Akhirnya emosiku terlepas walau harus beriringan dengan air mata yang tak dapat kutahan lagi. Aku kecewa pada Seokjin. Aku kecewa pada waktu yang tak mungkin dapat kuputar kembali. Aku kecewa pada dunia dan segala isinya.

"Jinah, dengarkan aku," Seokjin masih maju selangkah lagi.

"Tidak mau!" Dan sebanyak itu juga aku mundur.

Kami terus begitu sampai punggungku membentur pintu dan satu tanganku tergesa-gesa mencari tuasnya.

"Kau mau pergi?" tanya Seokjin khawatir setelah melihatku berusaha membuka pintu.

Aku mengangguk. Kurasakan sebulir air mata turun di pipiku.

"Ke mana?"

Aku menggeleng. Aku tak punya tempat pulang yang lain lagi.

When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang