5. Lim yang Satu Lagi

1K 201 127
                                    

Pilihan itu hanya milik kaum borjuis, bukan orang miskin bernasib sial sepertiku. Seminggu lagi pernikahanku dilaksanakan, dan aku tidak punya sedikit pun hak bersuara di dalam perencanaannya.

Kemarin malam, setelah aku ditempatkan pada sebuah kamar di rumah besar Seokjin, Lim Jinwook, alias Ketua Lim, berkunjung dengan segerombolan stafnya yang mengenakan setelan hitam serupa. Aku didudukkan pada sofa panjang di ruang tamu, disusul Seokjin yang duduk dengan keinginannya sendiri di sebelahku.

Ketua Lim menjelaskan bahwa kedatangannya saat itu bukan untuk makan malam basa-basi yang lazim dilakukan ketika menyambut calon keluarga baru, melainkan menentukan tanggal pernikahanku dan Seokjin. Seminggu dari sekarang, menurut perhitungan *Saju yang Ketua Lim percayai, adalah hari paling baik untuk menikah. Konsep yang diusung adalah *pabaek karena Ketua Lim ingin pernikahan kami dilakukan secara tradisional. Tidak ada gaun putih cemerlang yang mengalahkan ribuan kristal, tidak ada altar yang penuh kelopak baby's breath dan bunga-bunga berwarna suci lainnya, tidak ada sampanye, tidak juga ada cinta di sana. Semua tetek bengek pernikahan sudah direncanakan tanpa memedulikanku, sudah diatur tanpa aku boleh berpendapat sedikit pun.

Tapi kupikir, pendapatku di dunia yang sudah tua dan kacau ini memang tak akan bermakna. Seperti yang kugaungkan berulang kali di benakku sejak diriku ini dibeli, aku hanya butuh melangsungkan hidup dengan layak. Jadi untuk hal tersier lainnya, aku tak begitu peduli. Syukur-syukur Seokjin bisa membantuku meraih cita-cita. Kalau tidak juga, kurasa tidak ada yang buruk dari menjadi seorang menantu chaebol. Setidaknya nasibku bisa sedikit lebih baik daripada terjebak selamanya bersama ayah di rumah lama kami.

Aku mengayuh pelan tanganku yang dikepung air dalam jumlah masif. Tubuhku mengapung telentang, mataku memejam, aku percaya pada arus pelan yang mengombang-ambingkan diriku.

Seperti tipekal rumah kaum borjuis lainnya, rumah Seokjin bukan hanya besar, tapi punya kolam renang dan dermaga pribadi di bagian belakangnya. Tidak paham juga mengapa dia memilih membangun rumah (atau membeli jadi?) di area *suburban dan pada tepian danau seperti ini, tapi yang kutahu dia tidak pernah terlambat masuk di kelas pagi. Dan sekarang aku sedang menikmati sesi berenang dengan tenang di kolam renang pribadinya.

Ngomong-ngomong, berapa sih gaji dosen?

Sepelan daun yang gugur meninggalkan ranggas, aku membuka mata. Pagi hari seperti ini langit masih belum terlalu terang, aku masih nyaman mengamati birunya walau tanpa kaca mata hitam. Dan menyaksikan betapa dunia di atasku ini tak berbatas, ada kelegaan yang melonggarkan dadaku.

Dulu, untuk mengaliri energi-energi negatif keluar dari tubuhku, aku selalu menggunakan bak mandi kecil di rumah kami. Aku berendam di dalamnya, merasakan emosi-emosi yang tak perlu itu merambat keluar dari tiap jengkal kulitku. Aku membayangkannya seperti parasit pada belalang yang meninggalkan inangnya jika tersentuh air. Entah apa namanya, aku hanya menontonnya sekali di saluran dokumenter (dan acara mengerikan seperti itu bukan sesuatu yang ingin kutonton ulang), tapi yang pasti, parasit panjang dan menjijikkan itu menjadikan tubuh inangnya tak lebih dari mayat berjalan, lalu ketika mereka sudah tak menghuni lagi, inangnya mati begitu saja.

Tapi aku tidak akan mati.

"Aku tidak akan mati," ulangku.

"Tapi kau terlihat seperti mayat yang sedang mengapung."

Suara itu mengagetkanku dan hampir saja membuatku tenggelam. Punggungku menekuk dan tertarik lebih jauh ke bawah permukaan air. Aku mengubah posisiku menjadi tegak lurus, menjaga kepalaku agar tetap di atas sambil terus mengayuh tangan dan kakiku. Mulutku megap-megap. Kalau sedikit saja aku melakukan kesalahan, air-air bisa masuk ke paru-paruku.

When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang