4. Dosa Besar yang Dia Punya

1K 194 134
                                    

"Choi Seonsaengnim."

Jika pintu di belakangku punya nyawa, dia mungkin menertawaiku karena saat ini aku terlihat sama kakunya, padahal aku bukan benda mati. Kejadian ini menjadi racun yang melumpuhkan syaraf-syarafku dalam sekejap, dan hanya untuk sekejap juga. Jadi setelah beberapa detik mematung, aku bisa merasakan seluruh bagian tubuhku berfungsi lagi. Dan hal pertama yang kulakukan adalah mundur, keluar dari pintu, menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari kemungkinan lainnya bahwa anak Ketua Lim yang dimaksud bukanlah si Sialan Choi ini. Sayangnya tidak ada siapa pun lagi selain Kim Sangyoon yang masih setia menunggu di luar dan menatapku keheranan.

"Ada masalah, Nona Yoo?"

Aku mengabaikan kekhawatiran lelaki berusia senja itu lalu kembali masuk. Di dalam, kudapati si Sialan Choi sudah duduk di sofa dengan begitu santainya. Dua tangannya terentang pada sandaran dan satu kakinya menyilang di atas lutut. Dia memberi bahasa tubuh yang begitu berkuasa, membiarkanku tahu bahwa untuk saat ini, dirinya adalah pemilik ruang dan waktu, dan aku hanya partikel kecil tanpa makna di dalamnya.

"Duduk," pintanya singkat namun terdengar absolut.

"Kalau ini hanya caramu untuk mengolok-olokku akibat kejadian kemarin, ini sama sekali tidak lucu, Seonsaengnim. Entah apa hubunganmu dengan anak Ketua Lim, tapi hariku sudah berat. Aku tidak ingin lelucon," sebutku tegas. Aku masih belum mau beranjak dari posisiku yang hanya beberapa jengkal dari ambang pintu.

"Duduk, Yoo Jinah. Apa kau tuli?"

Gigi-gigi gerahamku menggemeretak karena saling beradu geram. Aku tidak ingin menurutinya, tapi jujur saja aku jadi penasaran. Aku ingin menolak, tapi sudah tidak tahu lagi harus ke mana setelah ini. Akhirnya aku mengalah. Dengan wajah jengah, aku melangkah hingga tiba di sofa dan duduk di bantalannya yang empuk.

"Aku orang yang kau cari," Seokjin berucap tanpa memandangku. Dia menepis debu yang menempel di ujung sepatunya selagi aku kembali mematung mendapati fakta yang barusan itu.

"Jadi kau anak Ketua Lim? Kalau ya, kau berhutang banyak penjelasan padaku," sebutku dengan bahasa tubuh yang juga kubuat seangkuh mungkin. Aku memutuskan duduk di sofa yang membentuk letter L terhadap sofa yang Seokjin duduki, jadi kami bisa saling menatap dengan jelas. Aku bahkan bisa melihat satu sudut bibir dosenku itu terangkat walau sedikit. Entah apa yang dipikirkannya, tapi mendadak aku merasa diremehkan.

"Kenapa tidak kita mulai darimu saja? Apa yang ingin kau tanyakan lebih dulu?" Masih dengan gelagat santai, Seokjin merogoh sekotak batangan nikotin dari saku kemeja semiformalnya. Dia mengambil satu, menyelipkan di antara bibirnya lalu menyodorkan selebihnya padaku, "Rokok?" tawarnya.

Aku diam. Bukan karena melihatnya merokok merupakan sesuatu yang sama sekali jauh dari perkiraanku, tapi karena merasa dia hanya mencoba untuk mengendalikan keadaan. Dan aku tidak akan membiarkannya mendapatkan apa yang dimaunya itu dengan mudah.

"Aku tidak akan mengambil rokok dari pria yang tidak kukenal baik. Lagipula aku tidak suka merokok di ruangan tertutup," jawabku.

Choi Seokjin mengangguk paham beberapa kali dan tetap memantik mancis menyalakan ujung nikotin pada kepitan bibirnya. Dia menyesap dalam-dalam kenikmatan sesaatnya itu, lalu berkata, "Sayang sekali. Aku justru tidak suka merokok di ruangan terbuka." Asap putih pekat dan tipis turut menguar di sela-sela silabelnya. "Karena kita akan menikah, mulai sekarang biasakan dirimu pada hal-hal semacam ini."                            

Meski wajahku tenang, tapi diam-diam ada ketegangan luar biasa yang mebuatku bergidik ketika membayangkan bahwa sebentar lagi, belum tahu kapan, kami akan menjadi sepasang suami istri dengan segala kewajiban yang menyertai. Mungkin bagi perempuan lain, juga sebagian besar mahasiswi di kampusku, berada di posisi ini merupakan impian yang menjelma nyata dari kemungkinan yang hanya sebesar nol koma nol nol nol satu persen, tapi  bagiku, mau setampan apa pun Seokjin, sepiawai apa pun dia sebagai dosen muda yang punya kredibilitas tinggi, tetap saja membuatku bergidik membayangkan kedua tangannya menyentuhku untuk alasan apa pun.

When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang