Aku mendengar suara helikopter.Di kota, penampakan dan suara baling-baling helikopter bukan sesuatu yang asing, siapa saja bisa dengan mudah mengabaikannya, termasuk aku. Tapi di sini, setiap suara itu muncul, sejengkal demi sejengkal nyaliku seperti ditarik keluar dari tubuh. Bayangan mengenai kemungkinan-kemungkinan terburuk, tentang bagaimana Seokjin kembali setelah "menghilang" tiga hari, berseliweran di kepalaku.
"Di sinilah hyung terhubung dengan dunianya yang lain."
"Di sini helipad kami berada."
Kusorongkan badanku ke depan, keluar dari batas jendela yang sudah terbuka. Angin malam yang membawa bau tanah basah tercium. Embun menjadi lebih berat dan menempel di ujung hidungku. Langit di atasku mulai gelap, tapi aku tetap menelitinya dengan seksama, mencari dari mana arah suara helikopter yang sedang kudengar ini berasal walau tak banyak yang bisa kulihat selain gumpalan awan hitam yang menggantung.
Di mana helikopter itu? Ke mana arahnya? Apa ke bukit di seberang danau? Apa itu milik Tuan Lim, atau orang lain? Kudengar, polisi hutan di sini sesekali menggunakan kendaraan udara itu untuk berpatroli.
Pundakku dicekam oleh kengerian. Aku benci merasa begini, mengira-ngira sesuatu yang sulit untuk kuperhitungkan, sementara yang bisa kulakuakan hanya menebak-nebak di mana helikopter sialan itu akan mendarat. Aku benar-benar tak berdaya.
Bukan hal aneh jika orang-orang berkuasa seperti Tuan Lim menginginkan sesuatu yang tak mudah diperoleh, tapi demi Tuhan, jika Seokjin tiba-tiba menghilang lagi seperti kemarin, aku mungkin akan jauh lebih menggila dari sebelumnya, dan itu hal terakhir yang kuinginkan di muka bumi ini.
"Sejak malam itu, Hyung memutuskan untuk tidak terlibat lagi dengan bisnis ini."
Tapi apa jaminannya? Apa jaminan Seokjin, suamiku, tidak akan terlibat lagi dengan semua itu?
"Kau hanya akan membuat dirimu terkena flu jika terlalu lama begitu."
Mendengar suara Seokjin, aku sontak menarik badanku masuk dan menoleh ke balik bahu. Dia sudah berdiri di batas pintu. Sisi samping pundaknya bersandar di kusen, memperhatikanku, entah sejak kapan. Dan dari penampilannya, aku tahu Seokjin baru saja pulang mengajar.
"Aku tidak mendengar suara mobilmu," sebutku.
"Seharian tidak bertemu dan itu hal pertama yang kau ucapkan pada suamimu?"
Langahku otomatis terayun meninggalkan jendela, dan begitu tiba di hadapan Seokjin, aku memeluknya erat. Aku suka bagaimana wangi kabin mobil masih tersisa di badannya, juga bau samar tembakau yang lekas dikalahkan oleh semerbak parfum prianya. Dengan kemeja formal yang lengannya sudah dilinting separuh seperti biasanya, penampilan Seokjin yang seperti ini menembus level atraktif yang berbeda di dalam pandanganku. Aku menenggelamkan pipiku dalam-dalam di dadanya.
"Aku rindu," bisikku.
Seokjin balas memelukku, lalu berkata, "Taehyung bilang, serangan panikmu kambuh ketika di rumah perahu," sambil mengeratkan dekapannya. "Kenapa kau tidak cerita padaku?"
Aku segera menarik kepalaku, menatap Seokjin dengan kening berkerut, "Kapan dia bilang begitu?"
"Tadi. Aku sudah pulang dari satu jam yang lalu dan berbicara dengan Taehyung di ruang kerjaku." Jadi karena itulah aku tidak melihat kedatangan mobilnya ketika berdiri di tepi jendela tadi.
"Kalian sudah berbaikan?" Aku masih memandang Seokjin dengan takjub. Pasalnya, sejak kemarin aku merasa Taehyung sedang menghindariku. Dia memilih meninggalkan meja makan ketika aku baru saja akan duduk, atau memutar langkahnya kembali ke kamar ketika kami baru saja sama-sama keluar dari pintu masing-masing, dan yang paling jelas dari semuanya, Taehyung tak menyambut ucapanku ketika kami bahkan duduk bersebelahan di kelas tadi siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTH
Fanfiction🔞🚩 TW: YANG PUNYA TRAUMA KEKERASAN SEKSUAL KETIKA KECIL (CHILD ABUSE) MOHON YAKINKAN DIRI SEKALI LAGI UNTUK MEMBACA CERITA INI. Setiap luka punya ceritanya sendiri. Sejak kejadian terkutuk di musim panas tiga belas tahun yang lalu merenggut kenai...