Halo, warning dulu, ini ada mature part. Tapi kalian tau kan ya, mature partnya Tesla tuh alusan, gak vulgar, jadi tetap nyaman dibaca. Cuma TW aja dulu, siapa tau ada yang gak nyaman, karena ini akan menggambarkan trauma masa lalu Yoo Jinah lagi. Jadi kalo ada yang merasa gak nyaman, skip aja bagian akhir setelah tanda (***) ya, mudahan tetap nyambung kok sama part berikutnya meski gak baca. Agak krusial sih, tapi masih bisa nyambung kurasa, hehee... Jangan lupa vote darlings, atau part ini kutarik lagi😈
.
.
Dulu di masa kecilku sebagai penyintas kekerasan seksual, aku melalui beberapa sesi terapi dalam berbagai macam jenisnya, namun tak ada satu sesi terapi pun yang berhasil membuatku berani lagi untuk menatap bayanganku di cermin. Rasanya aku sudah terlalu buruk, aku tidak perlu memastikannya lagi melalui refleksi diri. Aku menghindari benda apa pun yang dapat memantulkan bayangan, mulai dari cermin, gagang lemari pendingin yang terbuat dari besi mengilap, spion mobil, hingga kaca etalase toko yang jadi sedikit gelap dan sanggup memantulkan bayangan ketika hari mulai senja. Namun pada akhirnya, di satu waktu, aku terpaksa menyaksikannya.
Setelah mengabaikanku nyaris enam minggu, Ayah datang membawa sesuatu yang dibungkus rapi dengan kertas kado. Motifnya bunga aster kecil-kecil, memenuhi hingga tiap sudut perseginya. Di salah satu ujungnya, tersemat pita merah muda. Bukalah, kata ayah padaku. Aku lekas membukanya. Tak banyak yang kutahu, bahwa benda yang akan kutarik keluar dengan wajah sumringah itu adalah sebuah cermin bundar kecil yang memantulkan citra wajahku sendiri.
"Siapa tahu kau jadi tidak takut bercermin lagi," ayah menambahkan.
Aku terdiam. Sorot mata yang kudapati di sana terlihat asing, dan inilah ketakutan terbesarku jika bercermin. Aku takut menemukan pandangan yang mati itu, pandangan yang mengatakan kau ingin berada di mana pun kecuali di sana. Pandangan yang hampa, gelap, tak bermakna, mirip hantu yang sering kubayangkan jika menatap terlalu lama pada jendela rumah kosong di ujung gang.
Akan tetapi pada akhirnya, ayah benar. Seminggu cermin itu bertempat di satu sisi nakasku, aku sudah terbiasa lagi memandangi bayangan wajahku. Aku jadi paham, bahwa jika ketakutan itu terus-menerus kuhadapi, lama-lama aku akan terbiasa dan tidak begitu mengkhawatirkannya lagi. Jika ketakutan-ketakutan itu dengan sengaja kutemui, lama-lama mereka tak akan berhasil menggoresku lagi.
Tapi kalau dengan yang satu ini, bagaimana?
Aku menoleh pada Seokjin yang bergeming di bangku pengemudi. Walau semburat lembayung matahari terbenam menemukan wajahnya, dia tampak tak terusik. Atau memang tak peduli sama sekali. Postur duduknya tenang, tangannya bersedekap, kedua matanya tertutup oleh kacamata hitam pekat, jadi aku tak tahu apa dia menikmati pemandangan alam maha indah di hadapan kami ini atau hanya sekadar menghadirkan diri di sini, di dalam mobil sedan mewahnya yang diparkir di pelataran bukit menghadap lembah luas di bawahnya.
Ngomong-ngomong, sudah setengah jam kami begini, menghindari rumah dan Haeri dengan segala kemungkinan drama yang akan dimunculkannya. Bagaimana nasib Taehyung, ya? Aku jadi membayangkan iparku yang malang itu terjebak di antara piring terbang dan debat kusir antara Haeri dan suaminya.
"Kapan kita bisa pulang?" tanyaku memutus hening.
Seokjin mengangkat pergelangan tangannya dan membaca penanda waktu yang melingkar di sana. Dia mendesah, "Mungkin sekitar satu atau dua jam lagi," jawabnya dengan wajah lelah.
Aku ikut-ikutan mendesah panjang, "Lama sekali. Aku bisa mati bosan."
Seokjin akhirnya bergerak untuk meraih tanganku. Dia menggenggamnya dengan hati-hati dan mengusapnya lembut, "Mau kuberi sebuah trivia?" tawarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTH
Hayran Kurgu🔞🚩 TW: YANG PUNYA TRAUMA KEKERASAN SEKSUAL KETIKA KECIL (CHILD ABUSE) MOHON YAKINKAN DIRI SEKALI LAGI UNTUK MEMBACA CERITA INI. Setiap luka punya ceritanya sendiri. Sejak kejadian terkutuk di musim panas tiga belas tahun yang lalu merenggut kenai...