Ketika kecil, aku punya sebuah kotak kayu sebesar kira-kira dua kali kotak sepatu baru. Isinya hanya punya satu tema: pernikahan impian.
Ada banyak artikel beserta gambar editorial dari majalah-majalah lama yang kukumpulkan di sana. Mulai dari gaun pengantin seperti apa yang kuinginkan, kue bertingkat seperti apa yang bisa membuat tamuku berpikir bahwa mereka datang ke pesta pernikahan yang tepat, dekorasi altar, centerpiece dari berbagai macam bunga, apa lagu pengiringku nanti ketika menuju altar, siapa saja tamu yang kuundang (yang pasti tidak termasuk Jeon Jungkook, bocah itu makannya banyak sekali setiap aku menemukannya di kantin sekolah), aku bahkan juga menggunting potongan wajah seorang aktor bernama Wonbin sebagai acuan seperti apa wajah pengantin pria impianku kelak.
Kotak itu sudah ada dari sejak aku mengerti bagaimana konsep sebuah pernikahan, meski tolok ukurnya hanya sebatas kenaifan masa kecilku kala itu. Aku bahkan sudah memikirkan semuanya ketika bermain peran kecil-kecilan, menjadikan sarung bantal sebagai tudung pengantinku, dan boneka Barney kado ulang tahun dari ayah sebagai mempelai prianya. Aku sudah bercita-cita tentang di mana aku tinggal kelak dan siapa saja nama anak-anakku nanti, meski setelah kupikir-pikir lagi, tinggal di pedesaan itu merepotkan bagi seseorang yang serba praktis sepertiku, dan menamai anakku Barbie dan Ken tentu saja bukan ide yang bagus. Tapi poin dari itu semua, aku sudah memikirkan secara serius bagaimana kehidupan pernikahanku di masa depan nanti dari sejak usiaku bahkan terlalu muda untuk mengerti apa itu cinta.
Sialnya, dunia ini memang paling handal mengolok kehidupan dengan ironi. Semua yang ada di kotak kayu (yang kini pun aku tak tahu di mana) itu tak lebih berarti dari sebutir debu begitu nasibku diperjual belikan seperti sekarang ini.
Aku berdiri percis di bibir jendela ruang kerja Seokjin yang membentang tinggi dari langit-langit kamar hingga lantai. Di bawah sana, di rerumputan luas yang memisahkan kolam renang dan danau di belakang rumah dengan dermaga kecilnya, aku melihat banyak pekerja rumah tangga bahu-membahu mempersiapkan kursi-kursi tamu yang semuanya menghadap ke danau. Di titik paling depan, ada panggung kecil yang sudah rampung sekitar dua puluh persen, karena menurut Lim Haeri, panggung kecil itu nantinya akan menjadi altar tempat di mana aku dan Seokjin akan mengucap sumpah setia kami nanti, jadi masih banyak yang harus dilakukan terkait dekorasi.
Aku tidak tahu siapa yang pertama kali membesut ide, yang pasti, ketika tiga malam yang lalu Ketua Lim dengan wajah kakunya sekali lagi mengesahkan bagaimana konsep pernikahanku dan Seokjin kelak, Haeri bangkit dengan penuh wibawa dari duduknya dan mengatakan bahwa dia ingin pernikahan kami dilaksanakan dengan sesederhana mungkin. Semua yang ada di meja makan saat itu seketika berhenti mengunyah, meletakkan sumpit dan sendok mereka, lalu memusatkan perhatian pada Haeri yang anggun.
Menurut Haeri, alangkah baiknya jika pernikahan Seokjin sebagai akademisi sekaligus pengajar di universitas, jauh dari kesan mewah. Haeri ingin pernikahan kami cukup bersahaja, karena jika seorang akademisi seperti Seokjin melangsungkan pesta yang mewah, media akan dengan senang hati menyorotinya. Itu tidak baik bagi reputasi Ketua Lim dan bisa membuat aliran dana bisnisnya dicurigai. Lagi-lagi aku masih belum tahu apa dan siapa sebenarnya Lim Jinwook ini. Tapi berkat saran Haeri, aku bisa sedikit merasakan pernikahan impianku; bertema outdoor dan mengenakan gaun putih cantik meski terpaksa dibeli dadakan.
Omong-omong soal Lim Haeri, alias calon kakak iparku, dia masih belum terlalu banyak bicara denganku. Kupikir mungkin dia begitu karena baginya aku ini masih terlalu asing. Aku bertemu pertama kali dengannya di waktu makan malam setelah dia baru saja tiba di rumah Seokjin ini. Selama duduk bersama di meja makan, hanya satu kali dia menyapaku dan melontarkan pertanyaan basa-basi seperti bagaimana harimu? Meskipun aku menjawabnya cukup panjang (aku terlalu antusias menemukan sesama penghuni wanita di sini), tapi Haeri menanggapinya hanya dengan sebuah senyuman yang terlalu tipis. Jadi bisa ditebak, sisa makan malam kami dihabiskan dengan suasana canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTH
Fanfiction🔞🚩 TW: YANG PUNYA TRAUMA KEKERASAN SEKSUAL KETIKA KECIL (CHILD ABUSE) MOHON YAKINKAN DIRI SEKALI LAGI UNTUK MEMBACA CERITA INI. Setiap luka punya ceritanya sendiri. Sejak kejadian terkutuk di musim panas tiga belas tahun yang lalu merenggut kenai...