24. Pria Asing Bermata Biru

1.2K 260 94
                                    

vote 250 baru lanjut 😁

.

.

Aku merasa kecewa pada diriku sendiri. Bertahun-tahun kubiarkan masa lalu memerangkapku, membanjiriku, membuat jiwaku cacat di mana-mana, lalu ketika Seokjin datang menerimaku apa adanya, aku bahkan tak bisa membalasnya dengan besaran serupa.

Kami keluar dari motel keesokan paginya, ketika pemuda resepsionis bertubuh gempal sedang mengirai-ngirai keset kaki di teras dan buru-buru meletakkannya lagi di bawah pintu keluar. Dia melepas Seokjin dengan senyum lebar, kutebak, Seokjin pasti melunasi pembayaran di depan dan memberinya tip yang cukup besar. Bahkan ketika mobil kami meninggalkan lahan tak terawat itu, si pemuda terus saja berdiri di birai pintu, seperti maskot motel berkemeja Hawaii yang memang selalu berada di sana untuk menyambut dan melepas tamu.

Di mobil, Seokjin tak banyak bicara. Dia memang bukan tipe pria yang gampang bersuara, tapi entah mengapa untuk kali ini, diam yang diberinya seakan menegaskan sebuah batasan yang tak bisa kutembus. Sesekali kucoba memberinya cerita ringan, namun obrolan tersebut tak berlanjut karena Seokjin hanya menanggapi seadanya dan kembali fokus menyetir.

Aku tahu diri, mungkin dia sedang dalam situasi yang memang tak membiarkan pikirannya terbagi. Aku tak mau susah-susah berusaha lagi.

Usai lima belas menit perjalanan, kami tiba di rumah. Ketika masuk, yang kudapati pertama kali adalah Haeri yang duduk di sofa ruang keluarga, juga Touma yang berdiri sedikit jauh darinya--di pinggir jendela yang menghadap danau di belakang rumah. Touma hanya mengedikkan kecil dagunya pada Seokjin, menyapanya kasual tanpa suara, lalu kembali lagi menatap danau yang jauh di hadapannya. Sementara Haeri, dia menyilangkan tangan, memandangku angkuh seperti biasanya dari ujung kepala hingga kaki. Ada ketegangan yang jelas-jelas terbaca dari sikap keduanya. Mereka pasti belum berbaikan.

Sialan. Mau sampai kapan Haeri di sini?

"Kenapa kau pergi?"

Kupikir Haeri mengajakku berbicara, tapi tidak, matanya lurus menatap Seokjin. Dia lantas berdiri, lalu, masih dengan gesturnya yang angkuh, berjalan menghampiri Seokjin yang diam-diam memosisikan diri untuk melindungiku di balik punggungnya. Aku bisa mencium aroma parfum Haeri yang membuat hidungku perih.

"Aku hanya ingin memberimu dan suamimu waktu untuk membereskan masalah kalian," jawab Seokjin. Nada suaranya tenang, tapi aku tahu dia was-was dan ingin mengamankanku dari sikap agresif Haeri.

"Semalaman? Kau pikir aku dan Touma membutuhkan waktu sebanyak itu?"

"Haeri, hentikan," Seokjin mulai menahan suaranya.

"Lalu? Kalian hanya berjalan-jalan selama semalaman? Di mana kalian tidur?" tanya Haeri.

Aku mengerutkan kening. Apa urusannya menanyakan hal semacam ini?

"Di motel."

Tak ada satu pun dari kami yang sempat memperhitungkan apa pun sewaktu Haeri menyambar vas bunga di dekatnya, lalu melemparnya sekuat tenaga. Benda malang itu pecah berkeping-keping usai menghantam pintu di belakangku.

Semuanya terdiam. Ketegangan memekat. Hanya Haeri yang terlihat hidup bersama urat di pelipisnya yang menyembul, juga deruan napasnya yang berat. Dia terlihat belum puas melampiaskan amarahnya yang bias.

"Haeri, biarkan adikmu istirahat. Mereka pasti lelah," ujar Touma, seakan-akan pria itu hanya sedang menyaksikan peristiwa sekerdil kematian serangga.

Haeri justru tertawa seperti lunatik. Dia kembali berkata sinis, "Lelah? Tidur seperti apa yang membuatnya lelah? Hah?"

When The Stars Go Blue | KSJ x KJS x KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang