"... Apa?! Bapak?! Iya, Mbak. Aku segera pulang. Terima kasih ya infonya."
Sosok Kinandari Arumsita tengah pusing tujuh keliling sebab hari ini masih ada dua rapat yang perlu ia hadiri, tapi telepon dari Mbak Munirah yang merupakan tetangga samping rumahnya dikampung membuat Kinan perlu memutar otak. Bukan, ini bahkan bukan perkara yang mudah sebab menyangkut bapak yang dikabarkan jatuh dari tangga setelah nggak sengaja terpeleset. Sebagai seorang perempuan independent yang masih jomlo merangkap karyawan teladan di kantor, Kinan paling anti dengan yang namanya absen hanya untuk sebab personal—bahkan Kinan sampai beberapa kali membatalkan kencan buta karena deadline kerjaan. Persetan dengan orang lain sebelum ini, tapi sejak kata 'bapak' terdengar dari suara Mbak Mun, saat itu pula Kinan nggak berpikir selamanya sebab personal adalah alasan buruk untuk absen dari kantor.
Bapak, satu-satunya orang yang kini Kinan miliki setelah kepergian ibu dan adiknya akibat kebakaran sepuluh tahun lalu. Sebagai pribadi yang kokoh—pun lajang—sejujurnya Kinan akan lebih lemah dari apapun jika menyangkut keluarga terdekatnya, yang kebetulan hanya bapak seorang. Kinan bingung, tapi dia harus segera pulang untuk merasa lebih tenang.
Sambil menggigit bibirnya sedikit panik, Kinan menatap kekanan dan kiri. Memikirkan jalan keluar terbaik untuk segera beranjak dari kantor.
Menemui bapak, atau menghadiri rapat satu dalam dua puluh lima menit lagi, dan rapat dua tiga jam kedepan?
"Mbak Kinan kita rapat—"
"Sebentar, Jan. Ini saya lagi bingung ..."
"Kenapa, Mbak?"
"Bapak saya jatuh dari tangga."
"Innalillahi ... kok bisa, Mbak?"
"Dunno, tapi saya rencananya pengin langsung balik habis ini. Walaupun saya tahu dua puluh lima menit lagi kita ada rapat, tapi saya nggak bisa lebih fokus kalau nggak buru-buru cabut, Jan. Bisa nggak di re-schedule? Clientnya belum on the way, kan?"
"Eh ... mereka sudah di ruangan, Mbak sambil makan bakmie. Ini sebenarnya saya datang karena mau kasih kabar kedatangan client kita ..." Jannah memandangi Kinan dengan ragu. Bosnya itu meliriknya sebentar, sebelum akhirnya berdiri tegak, merapihkan sedikit dress sebatas lutut dan outernya kemudian berujar dengan mantap.
"Ya udah kalau gitu, kita rapat aja dulu. Semoga bapak saya baik-baik aja. Udah tertangani sih, tapi sayanya yang agak kepikiran."
"Eh ... Mbak serius? Nanti biar saya bilang—"
"Saya orang yang bertanggung jawab, Jan. Nggak apa-apa, tapi untuk rapat tiga jam lagi, saya minta diganti jadwalnya, ya? Bisa, kan?"
Janna mengangguk cepat.
"Bisa, Mbak."
"Oke, yuk ..."
Memasang senyum terbaiknya, Kinan melangkah dengan pasti. Memastikan jika kewarasannya masih ada untuk tetap steady dan luwes seperti biasanya. Bapak memang penting, tapi sudah tertangani. Sementara pekerjaannya, nggak ada yang bisa menangani selain dirinya, pun client sudah terlanjur datang. Kinan bukan nggak ingin bertanggung jawab pada bapak, tapi melalaikan tanggung jawab lain yang sudah ada di depan mata adalah kesalahan besar.
-
"... untungnya pasien langsung dibawa ke rumah sakit, jadi kami bisa memberikan penanganan dengan cepat. Saat ini pasien masih dalam observasi dan belum sadarkan diri, sementara waktu akan kami pantau hingga nanti dokter yang bertanggungjawab datang ya, Mas. Baik, kalau gitu saya permisi. Mari ..."
Adendra Ratib, sosok berkaus polo berwarna kehijauan itu mengucap syukur dengan khidmat. Untung dia buru-buru membawa warga yang merupakan lingkup pantauannya tersebut, kalau sampai nggak, Aden nggak akan membayangkan apa yang terjadi. Sebagai seorang ketua RT, Aden cukup diakui cakap oleh para warga. Kehadirannya ditengah-tengah warga membuat suasana menyenangkan. Lingkup rukun tetangga pun menjadi lebih beragam dengan kegiatan yang ia susun dalam program kerja. Selain menjabat ketua RT, Aden merupakan lulusan pertanian yang memiliki beberapa perkebunan juga sawah. Disamping menjadi orang yang diharapkan kehadirannya oleh warga sekitar, Aden juga mengelola bisnis sembako dengan beberapa toko yang berada di kampung. Salah satunya juga di pasar terdekat. Untuk usia, dirinya sudah sangat matang. Tiga puluh dua tahun dan dengan status jomlo.
Walau menikah nggak menjadi syarat untuk menjabat sebagai ketua RT, tapi status jomlo Aden lumayan mengganggu. Sebab, banyak warga yang kerap meledek dan membuat bercanda soal kosongnya tahta 'bu RT' di rumahnya yang besar.
Walau begitu, seenggaknya Aden punya kemampuan untuk mengelola rukun tetangga dengan baik tanpa Bu RT di sisinya. Sesekali sih ada perasaan miris, apalagi ketika ia harus menghadiri kegiatan desa yang mengharuskan para perangkat desa membawa pasangan.
Aden kuat kok, walau berdiri diantara para pasangan dengan status jomlo sendirian!
-
Yey! Balik lagi dengan cerita baru. Setelah memfokuskan diri pada proyek aku di fizzo, akhirnya aku gemes pen kambek dengan bawa cerita baru. Semoga kalian suka ya! Harapannya sih masih sama, bisa rajin update dan semangat menulis.
Kuy langsung disimpan di library ya! Jangan sampai ketinggalan setiap ada update. Dan jangan lupa follow diriku hihi ✌😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Menikah! [Completed]
Romance[Chapter 23-End dan Extra Part akan terbit di KaryaKarsa @TaeIlss ya!] 'Saatnya' The Series #2 Selama bertahun-tahun bekerja dan hidup di kota besar, Kinan nggak pernah membayangkan untuk kembali ke kampung dan menetap. Namun, kabar yang hari itu ia...