Lika-Liku Mas RT! [17]

747 111 4
                                    

Sibuk sendiri menjadi dua kata yang disusun untuk mewakili kondisi Kinan dan Aden yang masing-masing kembali fokus dan nggak banyak bicara sejak satu minggu menikah. Sementara si istri membunuh waktu dengan laptop dan ponselnya dikebanyakan masa setelah menyelesaikan urusan rumah, sedang si suami bergeriliya sepanjang hari antar toko maupun ladang. Sesekali Aden juga mendapat panggilan bertemu untuk pengurusan administrasi di rumah. Hingga tiba pada petang, dua orang yang semula hanya teman lama lalu berubah menjadi pasangan menikah itu terlihat nggak mengusik satu sama lain.

Kini, sambil merebah diatas sofa, Aden menggeser layar ponselnya. Berniat membeli laci kayu untuk menyimpan beberapa berkas administrasi di ruang tamu. Terlalu sulit menyimpan seluruhnya di ruang kerja, sementara dia terkadang kebingungan sendiri mencari cap stempel atau bahkan surat-surat yang dibutuhkan warga untuk pengajuan berkas-berkas yang kadang tercecer atau ia lupa meletakannya. Pun selepas mengisi perutnya dengan segelas teh hangat dan bakpia warung, Aden sedikit usil memikirkan Kinan yang belum keluar kamar setelah mengantarkan makan malam untuk bapak di rumah orang tuanya itu. Setelah itu, Aden hanya menemukan angin yang berhembus dan ...

Ah, jemuran yang belum diangkat!

Bergerak keluar rumah, Aden menyisir seluruh pakaian itu. Mengecek apa ada satu atau dua yang masih belum kering sempurna sambil menyipit kala matanya tersorot cahaya langit yang menguning.

Selesai dengan kegiatannya barusan, laki-laki itu kemudian merapihkan sandal yang berserakan di sekitar beranda depan. Meletakannya kembali ke dalam rak sandal seperti sedia kala sambil memikirkan jika hari ini sudah akan berganti dengan hari esok, menghitung waktu bahwa pernikahan dan hubungannya dengan Kinan baik-baik aja.

Beberapa kegiatan desa dari rencana kelurahan pun berjalan dengan baik. Sejauh ini Aden belum menemukan celah Pak Poco dan Saka akan menginterupsinya lagi kecuali perkara ruko yang ia sewakan pada salah satu koperasi dan katanya mengancam bisnis Saka.

Si rentenir berkedok koperasi.

"... Assalamualaikum!" selang dua menit menjatuhkan bokongnya diatas sofa barunya itu, Aden mesti menoleh lagi kearah pintu kala suara salam cukup bergemuruh membuatnya bergerak segera.

"Waalaikumsalam. Eh, Mas Mul. Ada apa, Mas?" ditatapnya tetangga beberapa gang dari rumahnya itu.

Mulyana, atau Aden biasa menyapanya Mas Mul.

"Mas Den, maaf ini ganggu sore-sore, saya ada perlu ... duh, gimana ya bilangnya?" Mulyana kelihatan bingung.

"Kenapa, Mas? Bilang aja, nggak apa-apa. Kalau saya bisa bantu, saya bantu, Mas." ujarnya menatap serius ke arah laki-laki berusia kisaran dirinya itu.

"Anu ... Eliyah, istri saya, dari pagi ngeluh kalau perutnya sakit. Ternyata dua jam lalu malah ada pendarahan sedikit, kebetulan sedang hamil anak kedua, Mas," ujar Mulyana malu-malu. Aden memasang senyum sumringah. "Wah! Selamat Mas, Mul!" ujar Aden antusias.

Mulyana mengangguk ragu. "Terima kasih Mas. Tapi masalahnya,  tadi waktu saya mau kesini minta bantuan Mas Aden untuk tolong antarkan ke rumah sakit, Pak Poco yang lewat depan rumah dan nanya saya, langsung menawarkan bantuan. Karena panik, saya terima aja. Bukannya tenang, malah jadi runyam karena sekarang Pak Poco minta dibayar untuk jasanya. Jujur aja Mas, saya lagi agak morat-marit belakangan ini. Alhamdulillahnya cuma ada rejeki untuk bawa istri ke rumah sakit, tapi untuk biaya pengantaran yang dipatok Pak Poco, saya nggak kuat. Niatnya tadi kalau misalkan minta tolongnya sama Mas Aden, seenggaknya saya bisa ganti untuk bensin, walaupun bukan untuk sewa per jam mobilnya ..." jelas Mulyana agak sedikit takut dan nggak enak.

Aden mengernyit kaget. Pak Poco memasang tarif untuk mengantar tetangganya yang sakit?

Gila!

"Oke, saya bisa bantu apa?"

Saatnya Menikah! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang