🤍🤍🤍
.
.
.
."... Kenapa? Kenapa harus Mas hubungi aku lagi sekarang? Mas bercerai pun bukan urusan aku untuk tahu!"
"Bukan begitu Nan, tapi ini bukti kalau saya memang mencintai kamu, masih mencintai kamu. Please, dengarkan dulu apa yang mau saya luruskan disini. Saya mau ketemu kamu, saya mau kita bicara empat mata berdua. Ya?"
"Mas Gata ... Mas..."
Kinan menghela napasnya berat seraya menggigit bibirnya kelihatan khawatir. Dia bingung harus bicara bagaimana lagi.
Selepas isya, perempuan itu mendapat telepon dari seseorang. Siapa lagi kalau bukan Gata yang beberapa hari ini seolah menerornya, baik dengan panggilan telepon maupun pesan teks. Hingga malam ini, Kinan menyerah. Setelah lima kali panggilan nggak terjawab, perempuan itu memutuskan untuk mengangkatnya juga. Mendebat seorang Gata memang bukan hal yang mudah. Bahkan mengingat saat mereka masih dalam hubungan kala itu, Kinan sendiri mengaku jika Gata sangat posesif dan begitu sulit untuk ditolak. Walau laki-laki itu benar-benar tahu bagaimana caranya berkelakuan padanya, hingga Kinan merasa nyaman dan sempat sulit melupakannya setelah tahu kenyataan bahwa sosok itu telah menikah, dan disitu ia justru menjadi selingkuhan tanpa disadari.
Tapi tentunya sekarang berbeda. Kondisinya akan bekebalikan jika Kinan sampai memulai kembali hubungan yang beberapa saat lalu masih sempat ia bayangkan. Bukan sekarang, bukan ketika dia sudah menikah diam-diam di kampung bersama seorang laki-laki yang dicintai seluruh warga desa.
Sekali lagi, Gata bukan orang yang mudah dipatahkan, dan Kinan ingin sekali mengatakan yang sebenarnya tentang statusnya sekarang. Tapi dia juga nggak mau memberi dampak yang nggak diinginkan jika nantinya harus terpaksa mengakhiri pernikahan ini setelah dua bulan kedepan. Aden adalah sosok yang sempurna dimata banyak orang, bahkan dirinya sendiri. Dia nyaman dengan laki-laki itu sejauh ini. Aden baik, dan masalah yang terjadi diantara mereka memang sewajarnya ada. Soal pekerjaan suaminya itu dan hanya sebatas itu aja. Kinan nggak mau jika lebih banyak orang tahu soal pernikahan mereka, maka lebih banyak juga kenangan yang harus tersisa jika Aden terpaksa kembali sendiri seperti semula.
"Nan? Kamu masih disana? Please, dengar Nan. Saya jujur sama kamu, saya benar-benar masih cinta sama kamu. Bahkan kalau kamu mau buktinya segera, saya siap melamar kamu. Saya tahu dimana kamu sekarang. Saya akan datang menemui orang tua kamu untuk membicarakannya secara serius."
Melamar?!
Kinan menggeleng dalam diam. Dia benar-benar nggak menyangka apa yang dimaksudkan seorang Gata untuk melamarnya. Sejak kapan Kinan bilang bahwa dia mau mempertimbangkan laki-laki itu lagi? Seenggaknya untuk saat ini Kinan nggak berpikir seperti itu. Walau dia juga nggak bisa memakai alasan sebenarnya untuk menolak.
"Nan? Kinan? Saya tahu kamu masih disana."
Suara Gata masih terdengar, walau sayup-sayup karena Kinan nggak menghidupkan pengeras suara. Matanya beralih kearah lain. Sedikit menyipit kearah jalan yang sejurus dengan tempatnya berdiri sekarang. Kinan melihat motor Aden dikejauhan, kurang dari dua menit Aden akan segera tiba di rumah.
"Please Mas! Jangan pernah berpikir apapun soal hubungan kita yang jelas-jelas udah selesai. Aku nggak yakin untuk menumbuhkan perasaan apapun yang pernah ada. Saat ini semuanya lenyap, entah tersisa atau nggak, aku nggak bisa memberi Mas peluang, maaf. Aku tutup teleponnya."
"T—tapi, Nan! Kin—"
Bip.
Satu tombol merah yang ia tekan telah mengakhiri seluruh pembicaraan selama hampir sepuluh menit dengan seorang Gata. Aden terlihat semakin dekat, buru-buru Kinan masuk ke dalam rumah. Niat hati mengaca sebentar untuk penampilannya menyambut sang suami. Cukup dengan kesalahan jelas yang telah ia lakukan semalam. Dia harus membuat Aden lebih baik, seenggaknya dengan perlahan memberinya sendiri waktu untuk menjelaskan semuanya pada laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saatnya Menikah! [Completed]
Romance[Chapter 23-End dan Extra Part akan terbit di KaryaKarsa @TaeIlss ya!] 'Saatnya' The Series #2 Selama bertahun-tahun bekerja dan hidup di kota besar, Kinan nggak pernah membayangkan untuk kembali ke kampung dan menetap. Namun, kabar yang hari itu ia...