Ah, Soal Bapak, Kinan Kelupaan! [11]

713 101 8
                                    

Semalaman Kinan nggak bisa tidur karena kepikiran soal keputusan yang sudah ia ambil kemarin. Perempuan itu masih belum menceritakan kepada bapak terkait lamaran Aden yang pada akhirnya ia setujui. Kinan tahu jika dia mungkin impulsif, bahkan cepat berubah padahal detik sebelumnya dengan tegas ia menolak, tapi detik berikutnya malah mendadak berubah jadi menerima.

Argh! Kinan menggeleng berkali-kali, mengaduh dengan kesal karena apa yang sudah ia putuskan.

Aden sebenarnya sudah kelihatan pasrah dan nggak ingin melanjutkannya, tapi Kinan mengingat pesan bapak beberapa hari lalu. Perkataan itu masih terngiang jelas dalam ingatannya, seolah enggan pergi.

'Dek, ketika ada tawaran baik seperti lamaran pernikahan, itu artinya tanda, kalau mungkin ini saatnya kamu melepas masa kesendirian. Baik buruknya perjalanan suatu hubungan, pasti ada. Walau nggak menutup, hal baiknya pasti lebih banyak, karena itu yang akan selalu kita usahakan? Jujur, ini mungkin juga bagian dari jawaban doa bapak beberapa waktu belakangan ...'

Kinan tipikal mudah terbawa suasana walau logikanya sering kali menolak mentah-mentah. Antara terbawa suasana dan ciri khas perempuan yang mudah tersentuh perasaannya, malah jadi sebelas dua belas! Iya, dia yakin dengan keputusan ini. Keraguan itu menipis seiring hari bergulir. Aden menghubunginya tadi sore, katanya dia akan datang kerumah-lagi-untuk melamar secara resmi membawa beberapa kerabat dan teman. Kinan belum menceritakan ini pada bapak-bahkan nggak membayangkan reaksinya juga. Kayaknya sih bapak pasti bakal happy.

"Dek, makan malamnya udah siap?" menyadari dirinya melamun sambil mengaduk sayur ketika suara bapak menginterupsi, buru-buru perempuan itu mematikan kompor. Sebelum sayur bayam di pancinya lembek, Kinan dengan segera memindahkannya kedalam mangkuk.

"Eh ... iya Pak, ini, udah jadi."

"Kamu lagi mikirin apa sih, Dek? Ngelamun aja, kesambet nanti."

Kinan menggeleng kecil. "Nggak, Pak. Ini lagi masak tadi aku kepikiran sesuatu. Mau makan sekarang, Pak? Aku sendokin, ya?"

"Boleh, bapak tunggu dimeja makan, ya." sepeninggal bapak, Kinan lantas menyiapkan makan malam untuk mereka berdua.

Kayaknya ini waktu yang tepat untuk sekalian bicara sama bapak soal keputusannya menerima lamaran Aden.

-

"... loh? Kata siapa, Pak? Selama ini kami selalu kasih yang terbaik kok, Pak. Kami nggak pernah macam-macam sama langganan, apalagi Pak Budi juga baru kan ikut jadi distributor kami-"

"Maaf Mbak, bukan apa, sama warga sekitar saya dapat keluhan kalau berasnya pakai pemutih, bahkan ada yang ngaku sakit perut habis makan beras dari Mas Aden. Saya minta di stop aja ya untuk kedepannya-"

"Ada apa, Rin?"

"Ini, Den, Pak Budi-"

"Maaf Mas Aden, saya mau berhenti langganan beras dari Mas Aden, untuk kedepannya nggak perlu kirim ke saya lagi, ya. Duitnya nggak perlu diganti juga, tapi berhenti aja, saya nggak bisa terima berasnya lagi."

"Kenapa, Pak? Ada masalah sama beras yang kami kirim?"

"Eh ... Oh, itu, Mas tanya sama Mbaknya aja ya, tadi udah saya jelasin. Saya permisi dulu."

Aden memandang aneh Pak Budi yang pergi dengan mobil bak terbukanya meninggalkan tanda tanya. Dirinya baru aja tiba selesai memantau proses packing beras di gudang. Sama sekali nggak terbayang akan datang komplain seperti ini.

Sebelumnya baik-baik aja, kenapa sekarang jadi begini?

"Pak Budi ada masalah apa, Rin?" tanya Aden menatap Rina di depannya. "Itu Den, katanya beras yang kita kirim dicurigain sama warga sekitar Pak Budi pakai pemutih, bahkan katanya ada yang sampai sakit perut habis makan nasi dari beras yang kita jual. Aneh sih alasannya, tapi bukan cuma Pak Budi, udah dua orang tadi juga datang dan minta putus pengiriman beras dari gudang kita. Pak Ikhsan dan Bu Tina. Dua-duanya distributor lama, kan? Mendadak mereka minta berhenti." terang Rina membuat Aden mendudukkan dirinya bingung.

Saatnya Menikah! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang