Sedingin Perasaan Ini [21]

627 96 6
                                    

"... Oke, Dan. Iya, saya on the way setengah jam lagi, ya ..."

Laki-laki itu menutup layar ponselnya seraya melempar dengan asal benda persegi itu keatas ranjang. Melanjutkan kegiatannya mengancing kemeja yang tengah dikenakan. Sedikit terburu-buru, padahal Aden seharusnya baru akan berangkat ke toko satu jam lagi, tapi akibat kabar barusan, mau nggak mau ia mempercepat tempo kepergiannya sebelum Wildan kembali menghubungi dengan panik.

Berita yang detik lalu ia dapat berhubungan dengan bisnisnya. Sebagai distributor beras, Aden tentunya memiliki kendaraan sendiri untuk mengantarkan karung-karung dengan bobot puluhan kilo itu ke agen. Dia punya dua truk, yang salah satunya memang biasa diparkirkan di gudang beras. Namun, menurut informasi Wildan tadi, nyatanya truk itu dibawa Pak Solihun dari parkiran toko. Padahal biasanya hal itu nggak terjadi, selain karena pagar toko nggak cukup besar untuk menutupi truk tersebut, sedikitnya pegawai yang berjaga disana membuatnya jadi rawan. Ini memang bukan pencurian, tapi kecelakaan yang bisa saja terjadi karena masalah pada kendaraan.

Ya, satu jam lalu Pak Solihun melaporkan kalau beliau kecelakaan. Mobil truk yang dikendarainya mengalami rem blong sehingga harus banting setir kearah bahu jalan yang dipenuhi pohon besar. Beruntung pohon besar hanya menyenggol truk, walaupun truk akhirnya miring dan hampir terbalik. Pak Solihun ada di rumah sakit, katanya beliau mengalami luka-luka ringan walau tangannya keseleo.

Aden lebih mengkhawatirkan nyawa pengendara tentunya. Truk itu memang aset, tapi jika ada kejadian yang menyebabkan terenggutnya nyawa seseorang—yaitu karyawannya—penyesalan dan kerugian akan jauh lebih besar.

Setelah selesai menyisir rambutnya dengan tambahan gel, Aden kemudian mengaca sebentar lantas bergerak keluar kamar. Masih pukul enam pagi, padahal biasanya jam tujuh-an dia baru berangkat. Entahlah, apa Kinan sudah membuat sarapan atau belum, dia nggak begitu ingin memaksa perempuan itu untuk melakukan semuanya setelah apa yang terjadi kemarin.

Rasa bersalah itu membuncah. Aden mendadak nggak mampu membiarkan Kinan mengerjakan seluruh hal rumah lagi, walau disisi lain dia juga nggak bisa melarang perempuan itu atau akhirnya semua sikapnya akan Kinan artikan sebagai cara memberi jarak. Sebenarnya Aden masih ingin mencoba, seenggaknya sampai habis masa yang ia ajukan pada Kinan.

Aden nggak habis mengompori dirinya mengingat soal 'masa tenggat' rencana hubungannya bersama Kinan. Terkesan mempermainkan kesakralan, tapi Aden yang niatnya nggak benar-benar seperti itu, jadi semakin merasa putus asa karena nyatanya Kinan nggak pernah melupakannya sebagai perjanjian awal, dengan masa berakhir yang sudah diatur. Miris, tapi dia nggak bisa mengabaikan perasaan Kinan untuk sesuatu yang dia harap akan berlangsung selamanya. Bukan juga nikah kontrak, karena Aden punya tujuan sejak mereka merencanakan ini, tapi ...

Kinan tentu punya alasan yang jelas, karena jika Aden perlu kembali diingatkan, ini juga merupakan idenya.

Ide yang perlahan Aden sesalkan.

Jujur, degup itu mulai tumbuh. Memberi bumbu debaran tiap kali membayangkan bangun tidur disampingnya, melihatnya berkeliaran di dapur, bahkan membaui ceruk lehernya kala kembali dari pekerjaan memantau yang sejatinya menguras pikiran Aden dalam.

Seperti menyewa kaset, selama masa berlaku masih ada, dan tentunya taat pada aturan, Aden tetap harus mengembalikannya. Meski denda mungkin nggak ada dalam hal ini, tapi dia lebih memilih terus membayar denda perpanjangan, dibandingkan harus mengembalikannya—sebenarnya.

Mengangkat tas sling bagnya diatas meja dekat tangga, Aden mencium aroma masakan—sepertinya ayam goreng—menguar luar biasa. Perutnya mendadak keroncongan. Ingin hati menuntaskan rasa lapar itu, tapi jika mengingat mungkin saja Kinan nggak akan begitu ingin bicara dengannya seperti ketika bangun tadi, membuat Aden nyeri.

Saatnya Menikah! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang